23 Mei 2009

“Gagasan Keadilan Sosial Dalam Pidato Soekarno” (Tinjauan Analisis Sosiologis Pidato Soekarno)



1. PENDAHULUAN
Konsep keadilan sosial di negara Indonesia telah mendapat tempat yang utama oleh para bapa pendiri bangsa. Hal ini jelas sekali dapat dibuktikan dari gagasan Soekarno dalam pembicaraannya tentang Dasar Negara Indonesia di dalam sidang BPUPKI (1 Juni 1945). Akan tetapi dalam kenyataannya harapan Bung Karno kepada bangsa Indonesia yang telah mengalami kemerdekaan ini malah tidak terwujud sebagaimana mestinya.

Terbukti bahwa segala bentuk ketidakadilan dan penindasan terhadap bangsa Indonesia ternyata masih dapat kita jumpai di mana-mana, terutama sekali dalam kehidupan masyarakat minoritas yang masih mengalami ketidakadilan dari sikap para pejabat negara. Meskipun di Indonesia sudah menerapkan sistem demokrasi reformasi namun kebobrokan moral para pemimpin bangsa masih terasa. Tak sedikit wakil rakyat ditunjuk dan diangkat dari kalangan kenalan para penguasa dan pengusaha. Kasus korupsi, kolusi dan nepotisme masih tetap menjadi bahan berita hangat di media massa. Pengusuran pedagang kaki lima dan kaum miskin masih juga menjadi bagian dari program bayangan agenda tata kota. Lebih mengenaskan lagi ternyata praktek penghambatan membangun rumah ibadah masih saja berjalan. Tidak ketinggalan birokrasi kantor pemerintahan yang suka mempersulit etnis Tionghoa juga masih bisa kita jumpai.

Oleh karena banyaknya kasus ketidakadilan sosial di negeri ini, maka penulis tertarik untuk membahas gagasan Keadilan Sosial dalam pidato Soekarno dalam menanggapi toleransi hidup berbangsa, ditinjau dari analisis sosiologis. Melihat bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, maka dalam paper ini penulis akan mencoba memaparkan beberapa kegagalan para wakil bangsa Indonesia yang belum memahami gagasan Soekarno tentang keadilan sosial. Dalam menyusun paper ini penulis akan menggunakan metodologi analisis teks pidato Soekarno dan studi perpustakaan.

2. PENGERTIAN KEADILAN SOSIAL
Masyarakat yang tertata baik dalam keharmonisan dan keadilan merupakan cita-cita semua bangsa. Semua orang dalam satu negara selalu menginginkan hidup dalam keadilan dan persamaan hak dengan berpedoman pada peri kemanusiaan. Dengan demikian segala aspek yang melingkupi hidup masyarakat sudah tentu harus ditata seadil mungkin. Undang-undang yang adalah sarana penataan semua warga negara Indonesia, dengan demikian haruslah disusun sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi norma keadilan. Termasuk dalam hal ini pelaksanaan hidup bernegara bagi para pemimpin bangsa.

Menarik sekali bahwa konsep keadilan sosial telah menjadi salah satu pemikiran filosofis presiden Soekarno. Hal ini ditegaskan dalam sebuah pidato kuliah umum tentang “Pancasila”, yang diselenggarakan “Liga Pancasila” di istana negara. Adapun menurut Soekarno arti dari kata keadilan sosial itu ialah:

“Keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan. Tidak ada – sebagai yang saya katakan di dalam kuliah umum beberapa bulan yang lalu – exploitation de l’homme par l’homme.”

Pemikiran Bung Karno tentang keadilan sosial ini sungguh jelas, tepat, sistematis dan tegas. Tampak sekali bahwa Seoekarno sangat memprioritaskan nilai keadilan dan menjunjung tinggi nilai hak-hak asasi manusia dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sudah tentu, lahirnya gagasan tentang definisi keadilan sosial ini merupakan hasil refleksi Soekarno tentang masa gelap sejarah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia telah mengalami penderitaan, penindasan, penghinaan dan penghisapan oleh penjajahan Belanda dan Jepang. Pernyataan teks di atas membuktikan bahwa Soekarno ingin mencanangkan keadilan sosial sebagai warisan dan etika bangsa Indonesia yang harus diraih.

Upaya agar keadilan sosial dapat terwujud, maka keadilan sosial itu harus dimulai dari hidup bermasyarakat. Soekarno menyadari bahwa negara Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa akan mencapai keadilan sosial asalkan rakyat Indonesia telah dipersatukan menjadi satu bangsa, yakni bangsa Indonesia. Pemahaman aspek persatuan ini jelas tidak bisa terlepas dari aspek “rasa” setiap orang. Rupanya konsep tentang persatuan bangsa ini sudah lama digagas oleh Soekarno. Hal ini dapat dibaca dalam isi pidatonya:

Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti yang akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buatan Negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.

3. REALITAS HIDUP BERBANGSA DI INDONESIA
Dalam mencetuskan gagasan tentang keadilan sosial, Bung Karno tampaknya sudah memahami situasi negara Indonesia dan bangsanya yang rawan terjadi konflik. Indonesia sebagai negara yang pluralistis, terdiri dari bermacam-macam agama, etnis, suku, budaya maupun ras rupanya memiliki tantangan tersendiri bagi Soekarno. Tampaknya Soekarno sudah berpikir jauh bahwa bangsa Indonesia suatu saat nanti harus menghadapi paham pluralitas yang amat kompleks. Jika tidak ditata dengan baik, maka sudah tentu bangsa Indonesia akan menghadapi konflik besar, terlebih lagi bila konflik itu menyangkut konflik individual dan sosial.

Lalu apa yang dimaksud dengan konflik individual dan sosial di sini? konflik individual dan sosial itu dapat muncul antara lain disebabkan karena adanya ketidakpuasan batin seseorang untuk menerima dirinya sendiri, berhadapan dengan orang atau pihak lain, adanya perasaan cemburu, dengki, iri hati, benci dan berjiwa kontroversial. Konflik individual, jika tidak cepat ditanggulangi, maka cepat atau lambat akan membawa dampak pada konflik yang lebih besar, yakni konflik sosial. Sebagai contoh adanya “Rakyat kecil” yang tidak berprinsip hidup baik umumnya mudah dihasut dan “dibeli” oleh kaum actor intellectual yang bersaku tebal dan berambisi dalam dunia politik. Akibatnya gara-gara masalah lahan, isi perut, sandang pangan dan papan, pekerjaan, uang, dan kuasa, maka cepat atau lambat rakyat kecil itu bisa terlibat dalam konflik sosial yang menelan nyawa manusia .

Berbicara tentang cara mencapai keberhasilan ide menunju keadilan sosial ini, maka Soekarno melihat bahwa keadilan sosial tidak bisa terlepas dari usaha mempersatukan bangsa. Demikian juga bahwa persatuan bangsa juga tidak bisa lepas dari tata negara “Gotong Royong”. Apa yang dimaksud dengan Gotong Royong?

Menurut Soekarno : “Gotong-royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah salah satu faham yang statis, tetapi gotong-rouong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo: satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!Itulah gotong-royong!

Teks ini merupakan pernyataan Soekarno untuk mengajak masyarakat Indonesia memahami bagaimana bangsa Indonesia harus mencapai visi-misi dan tujuan negara Indonesia. Pernyataan ini jelas memberikan pemahaman baru dalam aspek sosiologis, bahwa sistem Gotong-Royong adalah bagian dari nilai kehidupan keluarga dan warisan budaya bangsa Indonesia yang berharga. Pernyataan tentang negara Gotong Royong hendak mengarah pada nilai kebersamaan dan persatuan bangsa. Inilah konsep negara yang dicita-citakan Soekarno, yakni membentuk suatu komunitas yang solid dan kuat. Komunitas yang terhimpun dari berbagai macam suku, agama, ras, bahasa, dan kebudayaan.

Soekarno sangat memahami karakter asli orang Indonesia yang sesungguhnya memiliki kemampuan untuk maju dan mensukseskan pembangunan bangsanya. Mengapa? Karena Soekarno tahu dengan persis bahwa konsep Gotong Royong adalah milik masyarakat Indonesia sejak dahulu. Seluruh penjuru kepulauan Indonesia memiliki warisan dari nenek moyang mereka untuk bergotong royong.

Soekarno memiliki buah pikiran yang cemerlang tentang keadilan sosial. Gagasan keadilan sosial tidak bisa terlepas dari gerakan persatuan dan gotong royong. Justru bangsa yang tahu bersatu dan mau berkerjasama akan dapat memahami nilai keadilan sosial. Pernyataan ini ditegaskan lagi oleh Soekarno dalam pidatonya yang berbicara tentang nilai kebersamaan untuk mencapai cita-cita bangsa, yakni menciptakan masyarakat adil dan makmur.

“Di dalam penyelenggaraan masyarakat adil dan makmur semua memberikan tenaganya. Insinyur-insiyur memberi tenaganya, dokter-dokter memberi tenaganya, tukang-tukang gerobak memberi tenaganya, ahli-ahli ekonomi memberi tenaganya, ahli-ahli dagang memberi tenaganya, ahli-ahli pertahanan memberi tenaganya, semua memberi tenaganya. Bercorak macam, tetapi toh menjadi satu harmoni menyusun satu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila”. Bangsa Indonesia tetap membutuhkan partner dalam berjuang dan membangun negara yang adil dan makmur. Keadilan sosial tidak bisa dibangun oleh satu pihak saja, akan tetapi keadilan sosial adalah tanggungjawab semua bangsa.

4. RELEVANSI
Dewasa ini negara Indonesia sedang dilanda konflik individu dan partial di dunia elite politik dan pejabat negara, baik pejabat tingkat pusat dan daerah. Kerinduan rakyat untuk mendapat pemerintahan yang jujur, bersih, dan bertanggungjawab tampaknya hanya wacana dan sebatas harapan. Ketidakadilan hukum telah merambat ke bidang politik, agama, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan semua sektor kehidupan. Sistem monopoli masih berkembang. Agama masih dijadikan pemicu konflik yang efektif. Pendidikan seakan-akan hanya dimiliki oleh anak-anak berduit, pejabat, penguasa, dan berkedudukan sosial tinggi.

Begitu pula kesehatan seolah-olah hanya disediakan dan ditujukan bagi orang-orang kaya. Tidak sedikit rakyat miskin menderita sengsara karena tidak mampu membayar pelayanan seorang dokter ahli. Harga obat tidak lagi murah, malahan mencekik. Di lain sisi, banyak orang ingin lari dari hidup sengsara sehingga mereka berbondong-bondong ingin menjadi pejabat dan wakil rakyat. Segala cara telah mereka lakukan, entah dengan membuat ijasah palsu sampai meminjam uang untuk dana kampanye. Lalu ketika mereka terpilih, semua janji-janji kampanye sudah berubah menjadi lahan basah bagi kepentingan pribadi.

Tampaknya situasi memasuki masa pemilihan wakil rakyat tahun 2009 nanti juga akan mulai merangsang konflik sosial di tengah rakyat kecil. Hampir setiap periode pemilihan umum, bangsa Indonesia sudah mengenal gerakan “Serangan” sejumlah anggota DPR terhadap Presiden Reformasi terpilih. Para lawan politik yang dahulu tidak terpilih menjadi presiden mulai berusaha melakukan jurus-jurus ampuh, untuk menjatuhkan lawan kampanye mereka. Melihat kenyataan adanya sikap mengejar kuasa dari kalangan elite politik, maka banyak para elite politik mengorbankan kepentingan dan kesejahteraan rakyat kecil dengan memperioritaskan ambisi pribadi.

Kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial yang merupakan cita-cita hakiki perjuangan para founding fathers sejak mempersiapkan kemerdekaan negara, tampaknya sudah mulai luntur bahkan tidak mendapat perhatian. Kesejahteraan rakyat yang harusnya mendapat jaminan hidup, rumah tinggal, pekerjaan, kebebasan beragama, dan pendidikan akhirnya hanya bersifat wacana dari setiap program pembangunan pemerintah. Harus diakui bahwa salah satu hal yang paling mudah ditemukan saat ini ialah kondisi pendidikan di Indonesia yang amat memprihatinkan. Masalah perndidikan telah meliputi infrastruktur yang menyedihkan, gaji guruh yang rendah, anggaran sektor pendidikan yang secuil atau murah dan mudahnya gelar-gelar akademik dijual oleh lembaga-lembaga pendidikan yang mengklaim memiliki hubungan dengan perguruan tinggi di luar negeri.

5. PENUTUP
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah waktunya bangsa Indonesia mulai menanamkan kepada diri sendiri suatu semangat untuk menegakkan keadilan sosial secara merata. Keberhasilan mencapai keadilan sosial itu akan terwujud apabila bangsa Indonesia selalu terbuka memupuk nilai persatuan dan gotong royong. Menegakkan keadilan sosial dalam masyarakat kita harus diawali dari diri kita sendiri, terutama di awali dari dalam keluarga. Sudah tentu untuk mencapai tujuan kita membutuhkan proses yang panjang dan kesabaran.

Untuk mencapai mentalitas yang memiliki keadilan sosial itu, bangsa Indonesia perlu menjadi "man of character"; manusia yang memiliki karakter. Soekarno telah membuktikan kepada kita. Kerja, semangat, strategi dan iman teguh menjadi kata kunci keberhasilan dan terutama akan menjadi kepuasan batin kita untuk menwujudkan nilai keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA


Chang, William, Kerikil-Kerikil Di Jalan Reformasi, Jakarta: Kompas, 2002.

Go, Piet, Peran serta Orang Katolik dalam Politik, Malang: Dioma, 1990,

Soekarno, Pantjasila Dasar Filsafat Negara oleh Bung Karno, Djakarta: Jajasan Umpu
Tantular, 1960

Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI),Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia,
1995.

Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Ed.Herbert Feith, Lance Castles, Jakarta:
LP3ES, 1988

Konsep Tanggung Jawab Manusia Menurut Pemikiran Confusius dan Emmanuel Levinas Pengantar Konsep ‘tanggung jawab’ memang bukan terminologi baru dala

I. Pengantar

Konsep ‘tanggung jawab’ memang bukan terminologi baru dalam dunia filsafat. Umumnya pemikiran filsafat Barat dan Timur tentang tanggung jawab selalu dikaitkan dengan konsep manusia ideal dan etikanya. Meskipun begitu harus kita sadari bahwa berbicara dan menerapkan konsep tanggung jawab yang tepat ke dalam manusia ideal bukanlah hal yang mudah. Seringkali kita akan mengalami kesulitan untuk memahami konsep dan makna tanggung jawab dengan pemikiran orang yang berbeda budaya maupun bahasa dengan kita.

Dalam paper filsafat perbandingan ini penulis ingin mencoba membahas tentang konsep “tanggung jawab” menurut pandangan Confusius dan Emanuel Levinas. Penulis melihat bahwa pemikiran filsuf Timur dan Barat tentang tanggung jawab sudah tentu memiliki banyak persamaan dan perbedaan, mengingat gagasan mengenai manusia ideal sudah pasti mengarah pada karakter etika yang universal.

II. Konsep Tanggung Jawab Manusia Menurut Confusius[1]

Etika Confusius selalu menekankan bahwa seorang manusia dalam hubungannya dengan manusia lain harus mengikuti tatacara kehidupan yang telah dibangun oleh para bijak kuno sesuai dengan tatacara alam (Tao).[2] Melihat penekanan ajaran etika ini, penulis menyadari bahwa ajaran etika Confusius tentang tanggung jawab manusia dapat dilihat dari pandangannya mengenai ‘Sam Kang’ (tiga hubungan tata krama).[3] Pada prinsipnya ‘Sam Kang’ ini bertujuan untuk mengarahkan sikap hidup manusia untuk menciptakan relasi yang harmonis terhadap sesamanya. Adapun tata relasi ‘Sam Kang’ ini adalah sebagai berikut:

1. Hubungan baik seorang raja dengan menterinya (hubungan antara atasan dengan bawahan).

Ajaran etika ini dapat dilihat di dalam Kitab Sabda Suci III:19 yang menyatakan: “Seorang pemimpin hendaknya memerintah pembantunya sesuai dengan Kesusilaan dan seorang pembantu mengabdi pemimpinnya dengan Kesetiaan”.[4] Tampaknya ajaran Confusius ini hendak menggambarkan perilaku seorang pemimpin yang baik dan bijaksana. Seorang pemimpin tidak boleh bersifat otoriter terhadap bawahannya. Ia juga harus bersifat arif dan bijaksana terhadap orang yang dipimpinnya. Begitu juga sebaliknya seorang bawahan haruslah dapat menghormati atasannya sebagaimana layaknya seorang atasan.

2. Hubungan baik antara orangtua dan anak

Ajaran etika Confusius hendak mengajarkan sikap seorang ayah dan anak yang baik. Menurut pendapatnya: “Raja berfungsi sebagai raja, menteri berfungsi sebagai menteri, ayah berfungsi sebagai ayah dan anak berfungsi sebagai anak.” (Lun Gi XII:11)[5]. Inti ajaran Confusius ini hendak mengajarkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, seorang harus dapat menempatkan status dan fungsi sosialnya dengan baik, entah dalam keluarga dan masyarakat. Seorang ayah harus menunjukkan sikap seorang ayah bagi anak-anaknya. Begitu sebaliknya seorang anak harus dapat menyenangkan hati orangtuanya dan masyarakat. Perkataan Confusius di atas merupakan suatu nasehat untuk menggambarkan bahwa dalam kehidupan keluarga, hendaklah ‘yang tua’ bersedia menghormati ‘yang muda’. Demikian juga sebaliknya orang muda harus berbakti kepada orang tua, baik orang tua yang berada di dalam maupun di luar rumah. Artinya seorang muda (usianya) juga harus menghormati orang yang lebih tua, meskipun bukan orang tua kandungnya sendiri. “Seorang muda, di rumah hendaklah berlaku bakti, di luar (rumah) hendaklah bersikap rendah hati, hati-hati sehingga dapat dipercaya, menaruh cinta kepada masyarakat, dan berhubungan erat dengan orang yang berperi cinta kasih.” (Lun Gi, I:6)[6]. Menurut Confusius hubungan baik itu hendaklah dilakukan dengan penuh cinta kasih. Apabila ini terjadi maka akan terwujud keharmonisan di dalam keluarga dan masyarakat.

3. Hubungan baik antara suami dan isteri

Menurut Confusius relasi suami isteri haruslah didasari pada sifat-sifat yang baik dan terpuji. Pasangan suami istri yang baik dan harmonis haruslah saling menghormati dan mencintai. Hal ini dapat kita jumpai dalam pandangan salah satu muridnya Confusius, Mencius III, 2:2 yang mengatakan bahwa: “Menurut (mengikuti) sifat-sifat yang benar itulah jalan suci bagi seorang wanita”. Adapun kalimat ini hendak menunjukkan bahwa sikap seorang isteri yang baik haruslah tunduk dan patuh terhadap perintah suaminya. Meski seorang istri dapat menuruti perintah suaminya, bukan berarti sang suami dapat berbuat sekehendak hati. Malah sebaliknya seorang suami yang baik harus berbuat yang terbaik untuk isterinya. Pasangan suami istri diharapkan untuk saling menghormati, rendah hati dan menerapkan nilai-nilai cinta kasih.

III. Konsep Tanggung jawab Manusia Menurut Emanuel Levinas[7]

Gagasan Levinas mengenai tanggung jawab tetap memiliki kekhasannya sendiri. Untuk memahami gagasan Levinas ini, kita perlu memahami konteks umum pemikirannya mengenai relasi antara “aku” dan “yang lain”. Gagasan ini penting, karena untuk mengerti tanggung jawab, kita harus lebih dahulu memahami konsep relasi “aku” dengan “yang lain”. Menurut Levinas, dalam suatu relasi terdapat suatu persyaratan mutlak, yaitu adanya titik tolak dan titik tujuan.[8] Adapun relasi yang dimaksud Levinas adalah antara “aku” dengan “yang lain”. Itu berarti bahwa “aku” adalah titik tolaknya dan “yang lain” adalah titik tujuannya. Lalu bagaimana Levinas mengajak kita untuk memikirkan “orang lain” dan menerapkan gagasan tanggung jawabnya?

Jawaban Levinas dapat kita jumpai dalam beberapa hal. Pertama, kita perlu melihat “wajah” sebagai titik tolak untuk berelasi. Adapun wajah yang dimaksudkan Levinas, bukanlah sebuah wajah dalam arti biologis-anatomis. Akan tetapi, Levinas menekankan wajah sebagai situasi, di mana di depan kita telah muncul orang lain dan sedang menyapa kita (dengan atau tanpa kata-kata).[9] Ketika wajah itu menyapa, kita tidak lagi dapat bersikap acuh tak acuh terhadapnya. Makna wajah itu kiranya berada dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, wajah juga bersifat “apriori”; mendahului segala persepsi kita. Hal ini dapat kita pahami dari hasil wawancara Lavinas dengan Philippe Nemo, di mana Levinas telah menonjolkan dimensi kelemahan manusia dalam rupa wajah telanjang[10]. Kelemahan itu adalah lambang kemiskinan total manusia dan orang yang sama sekali tidak berdaya. Selain itu wajah seperti itu juga hendak menunjukkan bahwa ia sungguh terbuka, tidak ada sesuatupun yang melindunginya. Demikianlah untuk memahami wajah bukanlah dengan pengetahuan, tetapi yang terutama adalah melalui sensibilitas kita.[11]

Menurut Levinas, wajah orang lain itu juga dapat mempersentasikan “Yang tak Berhingga”.[12] Wajah orang lain itu adalah lebih daripada apa yang dimengerti secara rasionil. Dalam wajah itu diwahyukan sesuatu yang tak terbatas. Artinya wajah orang lain yang muncul dihadapan kita, seakan-akan orang lain itu telah memanggil kita dengan kekuasaan dan kewibawaan Allah sendiri. Hal ini juga ditegaskan oleh Levinas, yang berpendapat “Di hadapan yang tak terbatas aku merasa berkewajiban untuk mengakui orang lain sebagai sesama manusia, untuk menghadapi orang lain dengan sikap keadilan dan kebaikan. Dengan bertindak adil terhadap sesama, seseorang akan menjadi penyaksian tentang kemuliaan Allah. Allah yang tidak kelihatan itu tidak dapat dibayangkan, tetapi dapat diakses dalam keadilan.”[13] Etika dalam Levinas ini tidak lain adalah optik rohani, di mana kita dapat “melihat” perjumpaan manusia dengan Allah dalam tanggung jawab atas orang lain. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau dikatakan, bahwa berbuat adil terhadap sesama merupakan warta kemuliaan Allah dan serentak mengalami kehadiran-Nya.[14]

Kedua, Jika Confusius menggambarkan “orang lain” itu sebagai sahabat atau partner, maka bagi Levinas “orang lain” itu adalah ‘tuan’. Artinya, bahwa dalam wajah orang lain mampu memberikan perintah absolut untuk memelihara kehidupannya. Pada saat orang lain muncul sebagai wajah, maka kita tidak berkuasa apa pun terhadap dirinya. Sikap ini adalah suatu undangan etis untuk membela orang-orang kecil, tergusur, lemah dan tanpa daya. Dengan kata lain, wajah itu melarang kita untuk membunuh. Begitu kita berhadapan dengan orang lain, maka kita tidak bisa bebas lagi. Penampilan wajahnya akan menyandera kita untuk bertanggungjawab atasnya. Kita melihat di sini bahwa subsitusi telah menjadi unsur dasar moralitas. Dengan kata lain, moralitas itu diwujudkan ketika kita mensubstitusikan diri kita bagi orang lain.[15]

Ketiga, Levinas juga mengajar kita untuk berelasi dengan orang lain sebagai relasi asimetris[16]. Bagi Levinas, asimetris mengandung arti: “Aku sudah selalu diwajibkan oleh orang lain. Orang lain itu menampakkan dirinya dari tempat yang tinggi. Tetapi ia serentak juga miskin, asing, janda dan yatim piatu. Dia ini harus kuhadapi. Tetapi bagaimana? Aku harus lebih menuntut dari diriku sendiri daripada dirinya.”[17] Bagi Levinas wajah orang lain merupakan panggilan bagi kita untuk menerimanya. Akan tetapi, panggilan itu bersifat etis, yakni mewajibkan kita sedemikian rupa untuk bertanggung jawab atas diri orang lain. Dalam hal ini, Levinas rupanya hendak mengundang semua orang untuk peduli kepada orang lain. Bayangkanlah situasi gawat yang harus dihadapi orang lain yang sedang kelaparan. Di hadapan situasi semacam ini, kita merasa berkewajiban untuk mengurbankan diri untuk menyelamatkan orang lain, sekalipun kita tidak akan menuntut balasan atau imbalan dari orang itu.

IV. Analisa Mengenai Pemikiran Confusius dan Levinas

Masing-masing pemikiran tentang tanggung jawab yang dipaparkan oleh kedua filsuf ini tampaknya memiliki kekhasan tersendiri. Berikut penulis akan memberikan pandangan penulis mengenai persamaan dan perbedaan pandangan mereka yang khas. Pertama, kedua filsuf ini memiliki persamaan konsep tanggung jawab yang mengarah pada pesan humanisme, terutama dalam hal sikap manusia yang harus menjalin relasi antara ‘aku’ dengan ‘orang lain’. Seperti halnya dengan Levinas, Confusius juga mengakui bahwa di dalam berelasi sudah tentu ada ‘yang lain’ sebagai lawan relasi kita, entah posisi ‘yang lain’ itu sebagai atasan, bawahan, orang tua, anak, suami dan istri.

Adapun perbedaan ‘aku’ dan ‘orang lain’ itu dapat dilihat dari ‘nilai suatu relasinya’. Confusius menekankan bahwa ‘aku sebagai orang Cina’ bukanlah berdiri sendiri dan tidak berpisah dengan ‘orang lain’. ‘Aku’ dan ‘yang lain’ merupakan bagian dari satu kesatuan dan cenderung untuk memiliki satu kesatuan nilai ‘perasaan’ yang sudah terbentuk dari tata budaya dan tata alamiah (Tao). Sedangkan Levinas cenderung menekankan ‘nilai relasi’ dengan orang lain sebagai seseorang yang harus dilayani atau sebagai ‘tuan’, oleh karena penampilan ‘wajah’ mereka yang seringkali muncul dan mengusik pikirannya. Di sini jelas sekali bahwa konsep tanggung jawab Levinas sangat kuat dipengaruhi oleh proses akal budi ketika melihat adanya suatu realita. Sedangkan konsep tanggung jawab Confusius bersumber dari gerakan ‘perasaan’ untuk mencapai keselarasan atau keharmonisan yang sudah terbentuk dari ajaran orangtua, orang bijak dan hukum alam yang harmonis (Tao).

Kedua, berbeda dengan Levinas yang memandang wajah ‘yang lain’ sebagai ‘tuan’, maka bagi Confusius wajah ‘yang lain’ itu adalah partner untuk diajak menciptakan kehidupan harmonis secara bersama. Oleh karena itu pemikiran Levinas mengenai wajah yang tidak dapat memberikan kebebasan bagi dirinya tidak sesuai dengan konsep orang bijak ‘Chun Zhu’ yang tenang dan tenteram[18]. Manusia ideal (‘Chun Zhu’) menurut Confusius haruslah orang yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Di samping itu bagi Confusius wajah ‘yang lain’ sesungguhnya juga tidak dapat disamakan dengan “Yang tak Berhingga”. Confusius lebih menekankan “Yang tak Berhingga” itu adalah “Thian” (langit) atau “Shang Ti” yang artinya raja yang di atas. Ia dipandang sebagai seorang kaisar yang bertahta di langit dan mempunyai kekuasaan tertinggi.[19] “Thian” ini hanya dapat dihormati melalui upacara sembahyang penyembahan ke arah langit setiap hari.

Ketiga, gagasan Levinas agar semua orang diharapkan untuk peduli dan bertanggung jawab kepada orang lain dapat diterima dalam pemikiran Confusius. Sikap tanggung jawab itu justru diajarkan oleh Confusius melalui sikap berelasi ‘Sam Kang’ (tiga norma hubungan tata krama). Dalam hal ini Confusius juga pernah menekankan agar relasi itu tidak mengarahkan pada sifat mencari timbal balik, melainkan bahwa manusia harus saling berbakti dan menjalankan kasih.

V. Kesimpulan

Pandangan filosofis Confusius dan Levinas tentang tanggung jawab ternyata memiliki banyak persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah bahwa kedua filsuf ini melihat konsep tanggung jawab untuk mengarahkan diri manusia untuk berpegangan pada nilai humanisme. Artinya hidup manusia tidak mungkin bisa lepas dari hubungan relasi antara dirinya dengan orang lain. Di sini jelas bagi kita bahwa gagasan kedua filsuf ini hendak mengangkat nilai hidup manusia sebagai mahluk sosial dan perilaku sosial. Dengan kata lain semua orang pasti membutuhkan kehadiran orang lain bagi dirinya, entah orang lain itu sebagai orang dekat maupun orang yang tidak dikenal sekalipun.

Confusius dan Levinas tampaknya menekankan makna tanggung jawab sebagai bagian dari hidup manusia yang muncul dari dalam dirinya. Kedua filsuf ini mengakui bahwa setiap orang memiliki dorongan untuk melakukan segala sesuatu sesuai pemahaman masing-masing individu dalam melihat realitas. Akan tetapi, harus kita sadari bahwa tanggung jawab itu memiliki konsep pemahaman yang berbeda-beda. Perbedaan ini bisa saja disebabkan oleh karena faktor budaya dan cara berpikir manusia dalam menanggapi realitas. Tampaknya Levinas yang mewakili filsafat Barat lebih menekankan konsep tanggung jawab manusia sebagai bagian dari proses akal budi untuk mengejar kebaikan bagi ‘aku’ dan ‘orang lain’. Sedangkan Confusius menitik beratkan konsep tanggung jawab manusia dari nilai ‘rasa’ untuk menciptakan keselarasan atau keharmonisan bersama.

Konsep tanggung jawab dari pemikiran Confusius dan Levinas tidak bisa dipahami sebagai suatu teori belaka, akan tetapi tanggung jawab itu harus dipraktekkan dan menjadi bagian dari hidup manusia. Tanggung jawab yang sudah dilakukan oleh manusia akan dapat menyingkapkan perkembangan jati diri manusia itu sendiri. Banyak kreativitas dan kebaikan hati yang dapat diekspresikan oleh manusia melalui tindakan hidupnya sehari-hari terbentuk karena adanya tanggung jawab.





DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. Fenomenologi Eksistensial. Jakarta: Gramedia, 1987.

Enrique, Dussel. Sensibility and Otherness in Emmanuel Levinas. Philosophy Today, 1999.

Lanur, Alex. Sekitar Manusia (ed. Puspowardojo), Jakarta: Gramedia, 1985.

Levinas, Emmanuel, Basic Philosophical Writings, Adriaan T.Peperzak, Simon Critchley, (eds),

Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1996

Levinas, Emmanuel. Totality and Infinity, An Essay On Exteriority (transl. Alphonso Lingis).

Pittsburgh, Pa: Duquesne University Press, 1969.

-----------, The Levinas Reader (Ed. by Sean Hand). Oxford: Blackwell, 1994.

Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, Su Si (Kitab Yang Empat) Kitab Suci Agama

Khonghucu (Matakin), 1994,

Peperzak, Adriaan. Emmanuel Levinas: Jewish Experience and Philosophy. Philosophy Today,

1983.

Simpkins, C. Alexander dan Annellen , Simple Confusianism, Tuntunan Hidup Luhur, Jakarta:

Bhuana Ilmu Populer, 2004

Suseno, Frans Magnis. 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Tanggok, M. Ikhsan, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, Jakarta: Pelita

Kebajikan, 2005, hlm. 62-66.

Takwin, Bagus, Filsafat Timur, Sebuah Pengantar Pemikiran-Pemikiran Timur, Yogyakarta:

Jalasutra, 2005,

Wisok, J.P. Majalah Melintas no.40/ April 1997.

Wiyana, Dwi. “Jangan Remehkan Kedinginan” dalam Majalah Tempo, 18 Maret 2007.



[1] Confusius adalah seorang pemikir besar, negarawan dan pendidik yang hidup di negara bagian Lu (sekarang ini Qufu di Provinsi Shantung). Nama Confusius ini merupakan nama latin yang diberikan oleh bangsa Eropa. Ia lahir tahun 551 SM dan meninggal tahun 479 SM. Sesungguhnya nama marganya ialah Kong dan nama panggilannya Qui. Ayahnya adalah pejabat pemerintahan Negara Bagian Lu. Ayahnya meninggal ketika ia berusia tiga tahun, sehingga membuat masa kecilnya miskin. Setelah dewasa, Confusius berhasil memecahkan monopoli para bangsawan atas pendidikan dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan swasta yang menerima murid dari bidang kehidupan. Pada masa Confusius hidup, negerinya sedang dilanda kekacauan dan terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah, pemberontakan dan kriminalitas. Kondisi sosial Cina pada waktu itu menampilkan wajah kebobrokkan moral dan anarkhi intelektual. Menanggapi kondisi zaman seperti itu, maka pemikiran Confusius lebih terfokus pada upaya untuk memecahkan masalah sosial. Salah satu gagasan yang sangat penting berkaitan dengan perbaikan moralitas bangsanya adalah konsep ‘Cheng Ming’ atau ‘Rectification The Names’ (Meluruskan nama/status/sebutan). Bdk. Bagus Takwin, Filsafat Timur, Sebuah Pengantar Pemikiran-Pemikiran Timur, Yogyakarta: Jalasutra, 2005, hlm.9-14.

[2] Ibid., hlm. 85.

[3] M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005, hlm. 62-64.

[4] Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, Su Si (Kitab Yang Empat) Kitab Suci Agama Khonghucu (Matakin), 1994, hlm. 119-1290.

[5] Ibid., hlm 228-229.

[6] Ibid., hlm.97.

[7] Emmanuel Levinas adalah seorang filosof Francis keturunan Yahudi. Dia lahir di Kovno (Kaunas), Lithuania, pada tanggal 12 Januari 1906. Keluarganya merupakan anggota komunitas Yahudi di Kovno. Pada masa kanak-kanaknya, Levinas belajar dan membaca kitab suci Ibrani, dan pada masa mudanya, Levinas juga banyak membaca karya tulis terkenal Rusia seperti; Pushkin, Gogol Dostoyevsky dan Tolstoy, serta William Shakespeare. Mereka adalah tokoh-tokoh penting yang turut mempengaruhi pemikirannya. Pada tahun 1916, selama masa perang dunia I, keluarganya pindah ke Kharkov di Ukrainia yakni tempat Emmanuel Levinas menduduki sekolah SMU di Rusia dan mengalami pergolakan revolusi mulai dari Februari hingga Oktober 1917. Tahun 1923, Levinas menyelesaikan studi bahasa Latin dan filsafat di Strasbourg. Setelah meraih gelar lisensiat dalam filsafat, ia mulai mempelajari pemikiran Husserl yakni Logical Investigations. Pada tahun 1930 Levinas resmi menjadi warga negara Francis, bekerja sebagai petugas militer di Paris dan sekaligus menjadi pengajar di Alliance Israelite Universelle. Ia pernah masuk menjadi anggota militer Francis dan bertugas sebagai penterjemah bahasa Rusia dan Jerman. Pada tahun 1940-1945 Levinas menjadi tawanan perang di penjara militer, namun tidak dikirim ke kamp pembantaian, oleh sebab dia dianggap seorang petugas militer Francis sehingga keyahudiannya tidak diketahui. Akan tetapi semua keluarganya di Lithuania dibunuh oleh tentara Nazi, sehingga ia mendominasi pemikirannya sebagai kenangan akan peristiwa holocaust. Ketika Levinas berada di dalam penjara militer, dia menulis sebuah buku yang berjudul De l’existence a l’existant (Existence and Existents) dan berhasil diterbitkan dua tahun sesudah perang (1974). Pada tahun yang sama, Levinas menjadi direktur “Ecole Normale Israelite Orientale” di Paris. Sebelum tahun 1961, Levinas sudah dikenal sebagai ahli fenomenologi Husserlian dan Hideggerian, serta menjadi dosen filsafat di universitas Poitiers. Tahun 1967, dia ditempatkan di Universitas Paris-Nanterre. Levinas wafat pada tanggal 25 desember 1995.Bdk. Emmanuel Levinas, Basic Philosophical Writings, (ed. Adriaan T.Peperzak, Simon Critchley), Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1996, hlm.7-8.

[8] Bdk. A. Lanur, “Hubungan antarpribadi menurut Levinas” dalam Sekitar Manusia (ed. Puspowardojo), Jakarta: Gramedia, 1985, hlm.61.

[9] Bdk. Ibid.

[10] Tentang wajah, menurut Levinas: “pertama-tama, terdapat kelurusan hati dari Wajah, keterbukaan lurusnya, tanpa pembelaan. Kulit Wajah adalah kulit yang tinggal paling telanjang dan paling ditelanjangi. Paling telanjang, biarpun suatu ketelanjangan yang sopan. Juga yang paling ditelanjangi: dalam Wajah terdapat suatu kemiskinan hakiki; buktinya bahwa orang berusaha untuk menyembunyikan kemiskinan itu dengan berlagak, dengan memberi kesan lebih daripada kenyataan. Wajah itu terbuka, terancam, bahkan mengundang kita untuk melakukan tindakan kekerasan. Serentak juga adalah wajah yang melarang kita untuk membunuh”. Kutipan ini merupakan terjemahan K. Bertens atas apa yang disampaikan Levinas dalam Ethics and Infinity, hlm. 86.

[11] Sensilibitas adalah petunjuk bagi “saya” yang tak terefleksikan, mengatasi instink, dan di bawah akal budi. Bdk. E. Levinas, Totality and Infinity, An Essay on Exteriority (terj. Alphonso Lingis), Pittsburgh: Duquene University Press, 1969, hlm.38.

[12] Bdk. S.Hand, The Levinas Reader, Oxford: Blackwell Publisher, 1994, hlm.246.

[13] Bdk. Op.cit., hlm.78.

[14] J.P.Wisok, “Dimensi Etis Penampilan Wajah menurut Levinas”, dalam Majalah Melintas no. 40/ April 1997, hlm.28.

[15] Subsitusi merupakan arti utama dari tanggung jawab. Dan subsitusi memiliki dua aspek utama, yaitu: pasivitas dan ketidak-sederajatan. Bdk. Anton Bakker, Antropologi Metafisika, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm.80.

[16] Hubungan asimetris ini adalah suatu gerakan tanpa balik. Bdk. E. Levinas, Totality and Infinity, hlm.215.

[17] Bdk. Ibid

[18] Bdk. C. Alexander Simpkins, dan Annellen Simpkins, Simple Confusianism, Tuntunan Hidup Luhur, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2004, hlm.97.

[19] Bdk. M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hlm.11.