20 November 2008

Kristologi Aloysius Pieris, SJ


KRISTUS DALAM KONTEKS ASIA
Menurut Aloysius Pieris, S.J

PENDAHULUAN
Paper ini hendak memaparkan Kristologi yang ditulis oleh Aloysius Pieris, SJ berdasarkan kenyataan yang dihadapi oleh orang-orang Kristen Asia. Adapun tentang artikel Kristologi tersebut termuat di dalam bukunya yang berjudul “An Asian Theology of Liberation.” Secara khusus dapat kita temui di dalam artikel “Berbicara Tentang Putra Allah di dalam Kebudayaan-kebudayan Non-Kristiani.” Sebelum penulis (saya) mengulas isi Kristologi Pieris lebih mendalam, ada baiknya penulis juga ingin memberi sedikit ringkasan umum yang terdapat dalam buku tersebut.

Buku “AN ASIAN THEOLOGY OF LIBERATION”
Pada intinya buku “An Asian Theology of Liberation” ini merupakan refleksi teologis Pieris dalam kontekstual Asia. Di dalamnya pembaca akan diajak untuk melihat bahwa isi buku ini banyak membahas dua persoalan kompleks yang menantang Gereja-Gereja di Asia. Kedua persoalan itu adalah banyaknya kemiskinan di Asia dan aneka ragamnya kereligiusan rakyat Asia, yang bagi Pieris kedua realitas itu merupakan titik acuan teologis yang mengarahkan setiap pertimbangan teologis di Asia. Harus diakui bahwa dalam tulisan-tulisan yang terdapat dalam buku ini, Aloysius Pieris telah memberi sumbangan arah yang paling tegas dalam memberikan tolak ukur cara berteologi (metode berteologi) di Asia dan langkah perjuangan pembebasan yang sesuai dengan kekhasan konteks Asia.
Didorong oleh semangat ingin menjabarkan ajaran-ajaran Konsili Vatikan II, Pieris mencoba membangun teologi agama-agama dalam konteks Asia. Menurut Pieris, Teologi Asia adalah cara orang harus merasa, menyadari dan melakukan sesuatu sebagaimana terwujud dalam pergumulan dan perjuangan rakyat Asia demi mencapai emansipasi spiritual dan sosial, serta dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan dan bahasa kebudayaan Asia. Dengan demikian, memahami teologi Asia harus terus merefleksikan pertautan antara kemiskinan dan kereligiusan dalam pergumulan hidup bangsa Asia.
Sekalipun Asia memiliki matriks teologi yang khas, Asia ada dalam dilema antara teologi Eropa dan teologi Pembebasan Amerika Latin. Dilema ini hanya dapat diterobos bilamana ada rasa Asia dalam teologi di mana kemiskinan dan religiusitas merupakan Sensus Theologicum. Oleh karena itu, teologi yang relevan untuk benua Asia adalah teologi melalui partisipasi. Dalam partisipasi inilah, maka proses penginjilan bangsa Asia dan teologi akan membantu Gereja Asia menjadi “Gereja lokal dari Asia” yang sangat berbeda dengan “Gereja lokal di Asia.”

KRISTOLOGI ALOYSIUS PIERIS
Mengenai Kristologi Pieris dapat kita temui dalam artikelnya yang berjudul “Berbicara Tentang Putra Allah di dalam Kebudayaan-kebudayaan Non-Kristiani.” Dalam artikel ini, kita akan melihat bagaimana Pieris menyusun suatu perspektif baru mengenai kristologi yang cocok untuk Asia. Di dalamnya Yesus telah dilukiskan sebagai “Guru Asia” yang dengan sikap kemiskinan-Nya telah mengumpulkan kaum miskin di sekitar diri-Nya menjadi suatu umat Allah yang berjuang bersama untuk mencapai kemerdekaan seutuhnya.
Adapun upaya penyusunan perspektif baru itu dilakukan atas dasar keprihatinannya pada pendekatan kristologi di Asia yang kurang kontekstual. Bagi Pieris, kristologis Asia harus bertitik tolak dari kisah pembaptisan Yesus. Di mana keselamatan Gereja-Gereja lokal Asia tidak lagi berasal dari gelar-gelar kristologis, melainkan dari sikap kerendahan hati Yesus yang ingin berpartisipasi menenggelamkan diriNya pada baptisan Yordan dan Salib Kalvari. Dengan perkataan lain, Pieris ingin mencetuskan gagasan kristologinya kepada orang-orang Kristiani Asia untuk ikut berpartisipasi menenggelamkan diri mereka ke dalam realitas “Yordan agama Asia” dan “Kalvari kemiskinan Asia.” Tampaknya refleksi kristologi dalam konteks Asia ini akan menjadi landasan Pieris di dalam mengembangkan eklesiologisnya di Asia.

Kritikan Pieris terhadap Dua Pandangan Teologis di Asia
Pieris melihat bahwa setiap refleksi kristologis dalam kebudayaan Asia terbentur pada adanya kenyataan bahwa kehadiran nama Yesus Kristus dan agama kristen yang diwartakan para misionaris sesungguhnya belum banyak diakui oleh semua orang Asia. Pada umumnya orang Asia lebih akrab dengan nama Buddha Gautama dan Nabi Muhammad daripada nama Yesus Kristus, padahal Yesus sendiri pun adalah orang Asia seperti halnya pendiri agama Budha dan Islam itu.
Menurut Pieris, keterasingan itu disebabkan oleh kenyataan bahwa Yesus yang lahir di benua Asia itu telah dibawa ke Barat beratus-ratus tahun lamanya, dan dibawa kembali ke Asia dalam konteks budaya Barat yang begitu tebal sehingga sulit menembus etos budaya Asia yang kompleks itu. Ketika para Kristen pendatang dan misionaris Barat membawa “Yesus” masuk kembali ke Asia guna mencari pengaruh dalam situasi kereligiusan Asia, seringkali terjadi bentrokan antara kuasa-kuasa orang Kristen pendatang dengan agama-agama non Kristiani yang telah terlebih dahulu menanamkan akar kelembagaannya dan dengan pengaruhnya mampu membangkitkan ego kultural bangsa-bangsa yang terjajah.
Pieris secara tidak langsung menyatakan bahwa Kristus hanya dapat dipahami dalam konteks budaya Asia apabila Gereja berani masuk dalam ungkapan-ungkapan soteriologis agama-agama non-Kristiani dan menemukan intisarinya yang mampu membebaskan. Adapun inti dari soteriologi itulah, maka akan menjadi “pintu masuk satu-satunya” bagi pewartaan tentang Yesus di Asia.
Dalam kritiknya terhadap gambaran-gambaran mengenai Kristus yang ada di Asia, Pieris menguraikan dua pendekatan terhadap masalah kristologis dalam konteks agama dan kemiskinan Asia. Kedua pendekatan itu meliputi:
Pertama, Pendekatan Pemenuhan, yaitu pendekatan yang memusatkan perhatian pada agama-agama di Asia. Pendekatan ini beranggapan bahwa Kristus sebagai pemenuhan terakhir kerinduan manusia akan penebusan berkarya pada semua agama. Akan tetapi, teori pemenuhan itu nampaknya telah memukul balik pada Gereja di Asia. Pernyataan Gereja bahwa Yesus adalah Sang Putera, Sang Kristus dan Sang Tuhan yang di hadapan para pendiri agama-agama lain hanyalah sebagai pendahulu atau nabi, persisnya menjadi satu di antara pernyataan saingan dengan pendiri agama mereka masing-masing. Oleh karena itu pantaslah bila Pieris berpendapat bahwa teologi agama-agama yang mengupayakan pendekatan dengan suatu triumfalisme kultus kepribadian tertentu sebenarnya telah gagal.
Kedua, Pendekatan Kontekstual. Dalam pendekatan ini Pieris memusatkan perhatiannya kepada kemiskinan Asia yang rupanya telah diabaikan oleh teori pendekatan pemenuhan tadi. Sekalipun konteks kemiskinan Asia menghormati Yesus sebagai “Allah yang menjadi miskin”, dan memuja-Nya sebagai “Guru Ilahi” yang memberi kebebasan bathin dari keserakahan dan yang mengumpulkan kaum miskin yang saleh di sekitar diri-Nya. Akan tetapi pendekatan pemenuhan kontekstual yang tadinya berupaya untuk memerangi kemiskinan struktural Asia secara radikal itu akhirnya mengabaikan unsur dari gambaran Kristus “Guru Asia”. Oleh karena itu, bagi Pieris pendekatan kontekstual tersebut merupakan salah satu strategi politis dalam mengatasi kemiskinan yang dipaksakan, sekaligus tetap belum memadai untuk menyediakan suatu gambaran yang bersifat profetis.
Pieris juga melihat bahwa kedua pendekatan itu sebenarnya menampilkan dua perspektif kristologi yang saling bertentangan, yaitu gambaran Kristus dari agama-agama dan Kristus melawan agama-agama. Dan kedua macam kristologi inilah yang sesungguhnya tidak memuaskan orang-orang Asia dan sekaligus ditolak oleh Pieris sendiri. Mengapa demikian? karena menurut Pieris, gambaran Kristus dari agama-agama dari para teolog inkulturasionis hanya melihat dosa dalam agama-agama Asia dan mau membebaskan orang dari agama itu dengan menariknya kepada Kristus. Sedangkan gambaran Kristus melawan agama-agama dari para teolog liberasionis hanya melihat inti soteriologis dan memandang Kristus sebagai penyempurnaan agama-agama Asia.
Berkaitan dengan siapa dan bagaimanakah sosok dan misi kedua kristologi yang saling bertentangan itu, Pieris telah memaparkannya ke dalam suatu diagram pembagian sejarah pertentangan antara dua kristologi di Asia. Adapun pembagiannya melalui tiga fase, yang mana dapat dilihat dalam gambar Diagram Kristus dan Agama-Agama yang berjudul Panorama Historis Pertentangan.
Fase pertama, munculnya Kristus Kolonialis yang tampil bersama dengan datangnya kaum kolonialis yang melegitimasikan tindakan penaklukan agama-agama Asia dengan memanfaatkan sarana peradaban model Barat. Menurut Pieris, para inovator misioner abad ke-17 (Roberto de Nobili di Madurai, India Selatan dan Matteo Ricci di Peking, Tiongkok) telah memanfaatkan kebudayaan “kafir” menjadi sarana mempertobatkan bangsa Asia dari agama mereka untuk memperoleh pembaptisan, yang oleh Pieris disebut juga dengan proses “instrumentalisasi” agama-agama “kafir.” Sedangkan gambaran baru dalam upaya mencari Kristus nonkolonialis muncul pada abad ke-19, yang masuk dalam kategori teologi Kristus dari agama-agama. Kristologi ini berasal dari India dan amat memberi perhatian pada Hinduisme. Gambaran yang ditampilkan dari kristologi ini ialah tentang Kristus Gnostik, yang dibentuk dengan tujuan untuk mengantisipasikan teori pemenuhan agama-agama dari konferensi Lambeth (1930) dan Konsili Vatikan II(1962). Dalam gambaran ini Pieris melihat bahwa hubungan antara agama dan kemiskinan material tampaknya kurang mendapat perhatian dari para teolog-teolog India.
Fase kedua, dalam kubu teologi Kristus melawan agama-agama menampilkan gambaran Kristus Neo-kolonialis yang dibentuk oleh kaum developmentalis, yang dengan sarana perkembangan model Barat hendak menaklukkan agama-agama non-Kristiani yang miskin material. Menurut kristologi ini, agama-agama non-Kristiani dianggap tidak mampu mengatasi kemiskinan material oleh karena agama-agama itu sendiri adalah sebagian penyebab situasi underdevelopment, yang sarat dengan kepercayaan pada tradisi tahayul daripada kemajuan material (teknologi). Sedangkan kubu teologi Kristus dari agama-agama dalam fase kedua, Pieris melihat munculnya gambaran Kristus Ashramik. Gambaran ini tidak memerangi baik kemajuan maupun kemiskinan material. Di sini muncul penghargaan terhadap kaum miskin dan keagamaan mereka, khususnya dari para rahib dan mistikus. Menurut mereka, kemajuan material belum tentu merupakan perkembangan manusiawi, dan kemiskinan material pada dirinya sendiri belum tentu berarti kemiskinan manusiawi. Satu-satunya yang diperangi adalah “musuh dari dalam”, penyebab polaritas kemajuan dan kemiskinan, yaitu ketamakan. Sayangnya, bagi Pieris ciri struktur keserakahan tersebut tidak terlihat.
Fase ketiga, dalam kubu teologi Kristus melawan agama-agama muncul suatu gambaran tentang Kristus Kripto-kolonialis dari para liberasionis. Dari gambaran ini Pieris melihat akan adanya upaya kaum ini untuk menaklukkan agama-agama non-Kristiani yang dikaitkan dengan kemiskinan struktural bangsa-bangsa “Dunia ketiga”. Medium aksinya ialah pembebasan struktural berdasarkan Oksidentalisme Marxis dan Biblisisme Barat. Sedangkan kubu teologi Kristus dari agama-agama menampilkan kaum inkulturasionis yang membawa gambaran Kristus Universal. Mereka memberi perhatian kepada agama-agama tradisional sebagai tempat inkarnasi Kristus. Akan tetapi, menurut Pieris hubungan antara agama-agama tradisional dan pembebasan justru terabaikan.
Setelah melihat gambaran diagram di atas, maka jelaslah bahwa ternyata panorama historis yang menampilkan ketegangan dalam kristologi di Asia itu telah menciptakan suatu suasana yang tidak sehat bagi Gereja Asia. Menurut Pieris, Gereja Asia sendiri justru harus menentukan arah keterlibatannya dalam konteks religius-kultural masyarakat atas dasar gambaran mengenai Kristus yang berwatak Asia. Kristologi Asia sesungguhnya memerlukan paradigma lain yang lahir dari situasinya sendiri dan bukan sekadar diimpor dari paradigma yang bukan Asia. Melihat kenyataan ini, akhirnya Pieris mengusulkan perspektif baru untuk suatu kristologi yang sesuai dan cocok untuk Asia.

Dua Pandangan Kristologi Pieris bagi Asia
Seperti yang telah dikemukan di atas bahwa refleksi kristologi dalam konteks Asia Pieris bertitik tolak dari munculnya dua realitas Asia yang mencolok dan mencekam, yaitu adanya kemiskinan dan pluralitas agama yang keduanya saling terkait dan sulit untuk dipisahkan. Oleh karena itu, sebagai jalan keluar atau jalan menuju kristologi yang cocok bagi Asia dewasa ini, Pieris menganjurkan:
A. Kembali kepada kehadiran Yesus
Menurut Pieris bahwa teolog Asia banyak yang menolak “keunikan Kristus”, oleh karena Kristus lebih dilihat sebagai gelar, sebuah gagasan dengannya sebuah kebudayaan tertentu mencoba menyatakan misteri yang terdapat dalam pribadi, karya dan ajaran Yesus. Gelar itu tidak absolut, yang absolut justru misteri penyelamatan yang diwartakan semua agama besar sesudah berabad-abad lamanya. Jadi dalam hal ini jelaslah bahwa bukan gelarlah yang menyelamatkan, melainkan Sang Pengantara itu sendiri yang menyelamatkan.
Menurut Pieris, Misteri “Tritunggal” juga merupakan kenyataan soteriologis fundamental yang terdapat di dalam banyak kebudayaan religius Asia. Dan pembicaraan mengenai “Putera Allah” justru akan memiliki arti bila dihubungkan dengan konteks penyelamatan yang dapat disapa di dalam hati orang Asia, Bagi Pieris, kita akan bisa menemukan tempat yang peka dan terbuka itu, apabila kita mau mengulangi langkah-langkah yang pernah dilakukan oleh Yesus sendiri untuk memperkenalkan pribadi-Nya dalam konteks religiusitas dan kemiskinan Asia. Di sini tampaklah bahwa hubungan refleksi Kristologis Pieris dengan soteriologis Asia tidak boleh saling terpisahkan.
Dalam pandangan Pieris, Yesus mengembangkan pemahaman diri dan pewahyuan diri-Nya dengan benaman pembaptisan (Baptismal Immersion) ke dalam realitas Asia. Benanam pembaptisan tersebut terwakili dalam dua peristiwa yang oleh injil dinyatakan sebagai baptisan yaitu: Pertama, sikap kenabian Yesus yang perdana di sungai Yordan (Mrk1:9-11) dan Kedua, sikap kenabian Yesus yang terakhir di bukit Kalvari (Mrk10:35-40; Luk 12:50).
Menurut Pieris, pembaptisan Yesus yang pertama di sungai Yordan, mengandung makna sikap kerendahan hati dan sekaligus menunjukkan cara Yesus untuk mengidentikkan diri-Nya kepada orang buta huruf di pedesaan yang tidak mengenal Hukum Taurat. Hal ini memperlihatkan kepada kita, bahwa Yesus telah memahami dengan apa yang membelengu dan apa yang membebaskan di dalam religiusitas Israel. Dalam pembaptisan di sungai Yordan Ia telah masuk ke dalam inti soteriologis budaya religius pada zaman dan tempat-Nya, sekaligus memperkenalkan diri-Nya sebagai Hamba Allah. Putera tercinta dan Sabda yang harus didengar.
Sedangkan pembaptisan kedua di Kalvari, bagi Pieris merupakan kelanjutan dari pembaptisan pertama yang juga harus dilaksanakan oleh Yesus sendiri. Pembaptisan kedua ini mengandung makna bahwa mewartakan keselamatan Allah dan berjuang bagi orang miskin tidak mungkin tanpa melewati konflik dan penderitaan. Lebih tegas lagi bahwa mewartakan religiusitas yang benar sangat membutuhkan pengorbanan yang besar dan bahkan harus siap mengalami penyaliban.

a. Baptisan dalam Yordan Agama Asia
Dengan perendahan diri di sungai Yordan sebagai sikap kenabian pertama-Nya, Yesus telah mengidentifikasikan diri-Nya dengan kaum miskin yang saleh dari pinggiran dan melakukan inisiasi di bawah seorang “Guru Asia” yang besar, Yohanes Pembaptis. Melalui pembaptisan kita dapat mengenal siapakah Yesus atau lebih tepatnya bagaimanakah peran Yesus bagi manusia. Di bawah ini saya menguraikan makna pembaptisan bagi Yesus.
1. Yesus, pada jaman-Nya, hidup dalam arus tradisi keagamaan Yahudi yang mengikat dan seringkali terlihat sangat “formal”. Ketika Ia menjawab panggilan profetis-Nya, Ia membuat opsi yang tegas yaitu tidak memilih gerakan ideologis kaum Zelot, puritanisme sekte Eseni, atau bahkan semangat kaum Farisi dan para Saduki yang aristokratik. Sebaliknya, Ia lebih suka memilih tradisi asketis kenabian Yohanes Pembaptis, yang di dalamnya dipertemukan spritualitas autentik dengan unsur liberatif agama Yahudi. Di sini kita mengenal Yesus sebagai seorang tokoh yang memecahkan tradisi keagamaan. Kepribadian-Nya telah menggambarkan seorang manusia yang berani dan berpendirian kuat di dalam menghadapi tradisi keagamaan yang kaku dan tidak adil. Melihat sosok Yesus yang memiliki opsi yang tegas, maka Pieris berharap agar Gereja-Gereja lokal Asia juga perlu menegaskan opsi di hadapan macam-macam trend ideologis dan religius yang semakin terus berkembang.

2. Di sungai Yordan ketika Yesus berdiri di hadapan Yohanes Pembaptis (seorang nabi spiritualitas kosmis) dan di antara orang-orang yang dibaptis, secara tidak terduga dua aliran spiritualitas telah menemukan titik pertemuan. Yesus yang akan melewati pengalaman padang gurun datang kepada Yohanes, bukan untuk membaptis orang-orang lain (kaum papa berdosa), tetapi sebaliknya Ia malahan minta dibaptis. Adapun makna dari peristiwa ini hendak menunjukkan kepribadian Yesus yang ingin menyamakan diri-Nya sebagai “kaum miskin religius” atau kaum anawim. Di sini kita bisa melihat Yesus sebagai tokoh kaum miskin (kaum anawim). Tindakan-Nya untuk ikut dibaptis bersama dengan orang-orang banyak telah menampilkan kepada kita sesosok manusia religius yang mau mencintai mereka yang haus akan pengharapan keselamatan dan siap menyambut kedatangan kerajaan Allah. Melihat spiritualitas Yesus yang mau memperkenalkan diri sebagai seorang anawim inilah, maka Pieris berpendapat bahwa Gereja-Gereja lokal Asia harus pula bersikap seperti Yesus yang mau menjadi pencetus titik temu antara spritualitas kosmis dan kereligiusan kaum sederhana (anawim) di Asia.

3. Yesus memiliki kewibawaan yang diperoleh-Nya dari perendahan diri. Dengan tindakan perendahaan diri-Nya itu (mau dibaptis oleh Yohanes Pembaptis), justru kredibilitas dan wibawa-Nya dijamin oleh Allah sendiri di hadapan kaum miskin: ”Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nya Aku berkenan”(Mat3:17) dan “Dengarkanlah Dia”. Di sini kita akan melihat Yesus sebagai Anak Allah yang berwibawa. Yesus digambarkan memiliki kewibawaan oleh karena sikap-Nya sendiri yang taat, saleh dan rendah hati. Sebagai Anak Allah Ia tidak pernah berupaya mencari muka, mempromosikan diri-Nya sebagai orang yang hebat, pembuat mujizat dan orang yang penuh kuasa.
Berkaitan dengan ini, Pieris berpendapat bahwa Krisis misi hanya dapat terselesaikan bila Gereja-Gereja lokal Asia mau dibaptis dalam dua lapis tradisi liberatif dari kaum rahib dan kaum kecil yang saleh dan rendah hati di Asia, sebab kewibawaan yang bukan dicari-cari tetapi dipercayakan dari suara yang terdengar oleh semua orang itu hanya ada dalam “Yordan keagamaan Asia.”

4. Peristiwa pembaptisan Yesus mengandung makna pembebasan bagi manusia. Tindakan Yesus menceburkan diri yang seolah-olah lenyap dalam arus suatu spiritualitas nenek moyang di antara kaum sederhana, justru akhirnya tampil keluar dengan perutusan baru-Nya sendiri yang kontras dengan Yohanes Pembaptis dalam sikap, gaya hidup, dan pewartaan. Dengan sikap mau terbuka menerima kaum miskin dan pendosa, justru Yesus akhirnya mendapati identitas-Nya yang autentik sebagai: Anak Domba Allah yang memerdekakan manusia dari dosa, Putra Allah yang harus didengar dan Mesias yang membawa perutusan dan baptisan baru.
Dengan demikian, menurut Pieris Gereja-Gereja lokal Asia tidak akan kehilangan identitas Kristiani mereka bila mereka bersedia membenamkan diri ke dalam “Yordan agama Asia” dengan cara berguru pada Yesus, “Guru Kebijaksanaan” dan melibatkan diri dalam kehidupan dan aspirasi kaum miskin religius (anawim) Asia. Melalui sikap perendahan diri, yakni ibarat seorang murid yang mau menempuh jalan yang ditempuh oleh Sang Guru sendiri, maka Gereja-Gereja lokal Asia justru akan menemukan identitas mereka yang sejati. Di sini jelaslah bahwa Yesus dapat kita lihat sebagai “Guru bagi Orang Asia”


b. Baptisan dan Kalvari Kemiskinan Asia
Menurut Pieris, Yordan hanyalah permulaan Kalvari. Pembaptisan atau sikap kenabian yang pertama di Yordan di tengah kaum miskin YAHWEH itu pada akhirnya akan membawa Yesus kepada sikap kenabian-Nya yang terakhir, yakni pengosongan diri-Nya di salib Golgota dalam kemiskinan yang menyedihkan. Dari jalur kemiskinan yang menghubungkan Yordan dan Kalvari itulah, maka Pieris menarik paradigma eklesiologis lain yang patut direfleksikan oleh Gereja-Gereja di Asia.
Perutusan Yesus merupakan suatu misi kenabian, yaitu perutusan dari kaum miskin dan perutusan untuk kaum miskin. Justru karena kewibawaan-Nya muncul dari kemiskinan dan bukan dari kekuasaan, maka hanya mereka yang miskin secara radikal memenuhi syarat untuk mewartakan Kerajaan Allah, dan hanya yang miskin pula ditentukan untuk menerimanya.
Bagi Yesus antara Allah dan Mamon tidak akan ada kompromi. Kemiskinan Yesus dalam hal ini bukan hanya suatu protes negatif (terhadap nilai-nilai Mamon), pun bukan hanya suatu solidaritas pasif dengan kaum miskin pada zaman-Nya. Justru kemiskinan itu telah diperhitungkan sebagai strategi menentang Mamon yang dinyatakan-Nya sebagai musuh Allah (Mat 6:24). Kerajaan yang diwartakan-Nya bukan untuk kaum kaya (Luk 6:20-26). Kutuk dan celaan-Nya pada kaum kaya dan berkat-Nya untuk kaum miskin dipertajam oleh pernyataan-Nya bahwa dalam dan melalui kaum miskin (yang lapar, yang telanjang, dll ) itulah Ia akan melaksanakan penghakiman terakhir-Nya kepada seluruh bangsa Manusia. Perutusan itulah yang dipurnakan-Nya di salib.
Bukanlah kebetulan bahwa pengarang injil memakai kata yang sama, yaitu baptisan (Mrk1:9 dan Mrk 10:39) untuk melukiskan sikap kenabian Yesus baik di Yordan maupun di Kalvari. Masing-masing peristiwa itu merupakan tindakan perendahan diri yang mewahyukan otoritas kenabian Yesus. Bila di Yordan Ia dinyatakan oleh Allah Bapa sebagai “Anak yang Kukasihi”, maka pada baptisan di Kalvari Ia diproklamirkan sebagai “Anak Allah”, melalui ucapan oleh seorang kepala pasukan (Mrk 15:39). Pieris memandang bahwa hal ini sungguh merupakan saat kenabian, saat perendahan diri melahirkan suatu peninggian yang menarik semua orang kepada Yesus.
Mengenai arti dan makna Yesus Kristus bagi orang Asia. Pieris yakin bila dimensi pewahyuan dan pengantaraan dari misteri penyelamatan itu telah dapat memanisfestasikan dirinya sendiri tanpa ambiguitas dalam peristiwa manusiawi Yesus, maka peristiwa itu akan mampu pula menjadi jalan pintas istimewa yang menghubungkan “Yordan agama Asia” dan “Kalvari kemiskinan Asia.” Di sanalah budaya-budaya Asia akan membuka perbendaharaan gelar-gelarnya, simbol-simbolnya, dan rumusan-rumusannya untuk mengungkapkan penemuan baru mereka.

B. Merumuskan Suatu Formula Baru yang sesuai bagi Asia
Menurut pendapat Pieris, bahwa formula kristologi baru yang perlu dipertemukan di Asia, tidak lain ialah Gereja yang secara otentik bersifat Asia. Ia merasa yakin, selama Gereja tidak masuk ke dalam air baptis religiusitas Asia dan melibatkan diri dari dalam derita dan salib kemiskinan Asia, maka tidak mungkin Gereja Asia itu menciptakan sebuah kristologi bagi Asia.
Pieris juga melihat revolusi gerejani macam ini sudah mulai di dalam beberapa umat dan kelompok yang sekarang ini masih berada pada pinggir Gereja-Gereja besar. Dapat diharapkan, bahwa di dalam kelompok-kelompok pelopor itu muncul krisitologi bagi Asia, yakni kisah tentang Yesus yang diceritakan oleh orang-orang Kristen Asia yang berani mengikuti Yesus pada jalan-Nya dari sungai Yordan ke bukit Kalvari.

TANGGAPAN PENULIS ATAS KRISTOLOGI PIERIS
Menurut saya, Kristologi Pieris telah berangkat dari dua metode, yaitu pendekatan kristologi dari bawah dan kristologi fungsional. Hal ini dapat dimaklumi oleh karena dua metode pendekatan kristologis ini biasanya banyak dipakai oleh kaum teolog pluralis dalam upaya mendasarkan gagasan teologi mereka.

A. Pendekatan Kristologi dari Bawah atau "The Christology from below".
Di sini Pieris melihat Yesus sebagai manusia biasa yang dinaungi oleh Roh Allah. Ia tetap manusia biasa yang mau bersolidaritas, melindungi, menyelamatkan dan membebaskan kaum miskin di Asia. Bagi Pieris kemiskinan jelas menjadi sikap khas Yesus terhadap Allah dan Mamon. Kemiskinan itu merupakan spiritualitas perjuangan yang tidak akan pernah berhenti dan lenyap selama Mamon masih menjadi suatu kekuatan yang harus diperhitungkan. Perjuangan Yesus menentang Mamon itu digambarkan dalam drama tiga babak percobaan di padang gurun (Mrk 4:1-11; Mrk 1:12-13; Luk 4:1-13). Menurut Pieris, seperti halnya diri Yesus maka wajarlah bila Gereja pun terus menerus dipimpin oleh Roh untuk dicobai di gurun. Namun, setiap pencobaan akan membawa suatu motif dan cara yang baru bagi kita untuk memahami arti “menjadi miskin seperti Yesus yang miskin.”

B. Kristologi Fungsional.
Kristologi Fungsional merupakan lawan dari Kristologi Ontologis yang selalu menekankan kepribadian Yesus, yakni apa yang terkait dengan pertanyaan "Siapakah atau apakah Yesus?". Sedangkan Kristologi Fungsional yang diterapkan oleh Pieris lebih mengarah pada karya dan kehadiran Kristus di dunia, terutama sekali lebih terkait dengan pertanyaan “Apakah yang Yesus lakukan?" atau “Di manakah Yesus (berada)?”
Dengan gagasan kristologis ini, Pieris ingin merekomendasikan perlunya suatu pergeseran pertanyaan dari “Siapakah atau apakah Kristus itu?” menjadi pertanyaan “Di manakah Kristus (berada)?”. Bila saja penulis boleh sedikit menganalisa, pertanyaan “Siapakah Kristus?” tampaknya hanya akan berputar dan tertutup pada keunikan Kristus. Sedangkan pertanyaan mengenai “Di manakah Kristus?” tampaknya lebih terbuka terhadap realitas kemajemukan agama dan kemiskinan Asia. Di samping itu, dengan pertanyaan “Siapakah”, maka subyek tampaknya akan berhadapan dengan obyek yang memohon penjelasan, sedangkan dalam pertanyaan “Di manakah?”, maka subyek berada di tengah rekan-rekan subyek lainnya yang sama-sama sedang mencari. Biar bagaimana pun, kita harus hati-hati dengan adanya pergeseran pertanyaan di atas, oleh karena pertanyaan itu perlu ditangkap dengan kritis. Penulis menangkap adanya kesan bahwa pergeseran yang dimaksud Pieris akan berakibat pada cara berpikir pembaca artikel ini untuk meninggalkan pertanyaan “Siapakah?” dan hanya menggumuli pertanyaan “Di manakah?”. Bila benar demikian, pemikiran itu perlu dipertimbangkan.
Hemat penulis, kedua pertanyaan “Siapakah Kristus?” dan “Di manakah Kristus (berada)?” perlu ditempatkan pada tataran yang sama, oleh karena keduanya saling mengandaikan. Kita tidak mungkin berbicara tentang “Di manakah Kristus?” tanpa tahu tentang “Siapakah Dia?”. Sebaliknya kalau kita berbicara tentang “Siapakah Kristus” tanpa menyertai upaya mencari “Di manakah Dia”, akan membuat pembicaraan itu menjadi tanpa arah dan tidak relevan. Oleh karena itu, pergeseran pertanyaan itu tidak berarti meniadakan melainkan membuat dan meneguhkan pertanyaan yang pertama menjadi lebih jelas. Karena dalam pertanyaan “Siapakah Yesus?”, maka kita akan mengenal Kristus dan mencintai Dia yang kita cari di dalam pertanyaan “Di manakah Yesus?”
Dalam artikel, tampaknya Pieris juga ingin mengarahkan Kristologi Fungsionalnya sebagai jalan untuk mewujudkan Kristologi kontekstual Asia, yang membahas tema-tema mengenai Kristus dalam konteks kemajemukan agama di Asia (pluralisme), dan mengenai Kristus dalam konteks penderitaan dan kemiskinan bangsa Asia. Adapun pembagian ini sedikit banyak telah memberikan indikasi yang sangat kuat mengenai kecenderungan berkristologi para kaum pluralis, yakni menempatkan diri Yesus yang selalu hadir di semua agama, yang sekaligus melihat Yesus sebagai sang penyelamat manusia dari penderitaan, kemiskinan dan segala ketidakadilan yang menimpa hidup manusia. Di dalam artikel ini tampaknya jelas sekali bahwa Pieris lebih menekankan kristologinya sebagai suatu fungsi soteriologi bagi orang-orang Asia.





Moralitas Perkawinan Kristiani


KESETIAAN SUAMI ISTRI KRISTIANI DALAM DUNIA MODERN


I. PENDAHULUAN

Setiap pasangan suami istri (pasutri) tentu memiliki cita-cita untuk membangun keluarga yang ideal dan bahagia, baik secara lahir maupun batin. Meskipun begitu, banyak pasutri berpendapat bahwa membentuk keluarga ideal yang membahagiakan tidaklah semudah melangkahkan kaki. Gereja Katolik sendiri mengakui dan sangat prihatin dengan meningkatnya angka perceraian dan pernikahan kedua, perkawinan melalui sipil, perkawinan sakramental tanpa iman dan penolakan moral seksual Kristiani.

Gereja melihat bahwa keluarga zaman sekarang tampaknya sudah terancam oleh perubahan-perubahan tata nilai dan pola hidup dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Tuntutan ekonomi dan irama pekerjaan yang menekankan efisiensi dan efektivitas mengakibatkan orang harus bekerja bagaikan mesin. Prestasi kerja di luar rumah menjadi prioritas tertinggi, sehingga nilai kebersamaan dalam keluarga dan komunikasi mesra antar anggota keluarga mulai dilupakan dan kurang memperoleh perhatian. Pendek kata, nilai keutamaan terutama kesetiaan dalam hidup perkawinan dan keluarga, tanpa disadari semakin lama semakin memudar dan menghilang.

Pada zaman modern ini nilai kesetiaan dalam keluarga kiranya telah mendapat tantangan, tersaing oleh keutamaan-keutamaan modern yang trendy seperti efisiensi, hedonisme, budaya instant, hidup gengsi, dan sebagainya. Nilai kesetiaan tidak lagi menjadi tema penting dalam pembicaraan sehari-hari para pasutri. Kalau begitu, di manakah kunci untuk menciptakan keluarga yang ideal itu? Bagaimanakah Gereja harus bersikap dan menghadapi hilangnya nilai kesetiaan pada pasutri Kristiani dalam dunia modern ini?


II. PENGERTIAN KESETIAAN

2.1. Arti Kesetiaan

Kesetiaan sering diartikan sebagai lawannya penyelewengan. Dalam hidup perkawinan, biasanya yang dimaksud dengan penyelewengan selalu dihubungkan dengan masalah seks dan cinta. Pasangan yang tidak setia berarti pasangan yang sedang mencintai orang lain atau telah berhubungan seks dengan orang lain.

Sebagai suatu nilai keutamaan, kesetiaan mempunyai arti yang lebih luas dan tidak bisa dibatasi hanya pada masalah seks dan cinta saja. Kesetiaan memiliki arti: dapat dipercaya, dapat diandalkan, kokoh dalam janji, keteguhan hati, ketaatan, dan kepatuhan. Kesetiaan adalah kebajikan yang membuat seorang pribadi memegang teguh kata-kata dan janjinya, dan tidak mengecewakan orang lain dalam harapan-harapannya yang sah.[1] Kesetiaan juga mengandung arti sebagai kemampuan seseorang yang unggul dan tetap untuk bersikap baik. Kemampuan yang unggul dan tetap itu hanya dapat berkembang bila ada usaha pribadi, bantuan lingkungan dan rahmat Tuhan.[2]

2.2. Tantangan Hidup Setia dalam Dunia Modern

Tantangan hidup setia dalam perkawinan pada era globalisasi ini rupanya semakin kompleks. Keadaan global maupun lokal sekarang ini telah menampakkan sisi terang dan sisi gelap kehidupan pasangan suami istri. Hal ini dapat kita saksikan lewat pengalaman hidup di seputar lingkungan kita. Lewat media massa, kita bisa menyaksikan adanya kebangkitan dan kejatuhan hidup perkawinan. Di satu pihak, kita bisa melihat bahwa berkat kehidupan ekonomi yang lebih baik, banyak pasangan suami istri telah mampu mewujudkan kesejahteraan keluarga dan menjamin pendidikan anak-anaknya. Keluarga dengan ekonomi mapan sudah tentu dapat mengikuti pelbagai macam kegiatan yang dapat merealisirkan kemesraan relasi cinta mereka satu sama lain. Mereka juga mampu menciptakan variasi-variasi hidup yang dapat menopang dan memperkaya cinta mereka.

Di lain pihak, zaman globalisasi yang diwarnai dengan industrialisasi dan urbanisasi ini, justru menuntut banyak pasutri untuk hidup dalam kesibukan mengejar kebutuhan. Arus modernitas yang mereka hadapi terus menerus menawarkan paham baru, seperti individualisme, materialisme, kebebasan total, konsumerisme, hedonisme, dan budaya instant. Tanpa disadari, semua paham itu justru dapat memacetkan komunikasi antar pasutri dalam menampilkan identitas dirinya sebagai pasangan hidup. Pola hidup yang bebas dari pasutri yang senang mengejar karier dan gengsi mau tidak mau membuka peluang terjadinya perselingkuhan, penyelewengan, bahkan perceraian. Dalam situasi semacam ini kesetiaan keluarga pun sulit dipertahankan karena masing-masing sibuk mencari kebutuhan. Oleh karena itu, tidak heran bila dalam dunia modern ini istilah PIL, WIL bahkan perceraian adalah fenomena yang biasa.


III. FAKTOR PENYEBAB RUNTUHNYA NILAI KESETIAAN PASUTRI

Perubahan-perubahan sosial dan kemajuan teknologi yang pesat ternyata dapat membuahkan akibat sampingan (dampak) pada menurunnya nilai kesetiaan sebuah perkawinan. Lalu di manakah letak kesalahannya? Orang (Indonesia) sering meletakkan kesalahan pada pengaruh masuknya budaya Barat. Tetapi sesungguhnya hal ini tidaklah benar. Manusia dari dunia Barat memang hanya memperhatikan diri sendiri dan mengejar uang serta kenikmatan. Akan tetapi, itu semua didasari juga oleh penghargaan tinggi terhadap ‘pribadi manusia’, hak asasi manusia, perhitungan akal budi yang cermat serta hukum masyarakat mereka yang jelas. Secara sadar masyarakat Barat memang memilih hidup bebas, namun pilihan mereka bukanlah suatu paksaan nafsu. Terbukti bahwa banyak keluarga Barat yang bertekad setia, ternyata bisa hidup setia dan bahkan lebih mesra dan harmonis. Biar bagaimanapun, kita harus menyadari bahwa letak kesalahannya ialah terletak pada pola pikir yang masih tradisional, yang masih mementingkan hubungan perorangan, hubungan rasa dan kurang memahami hukum masyarakat secara nalar. Di bawah ini kami akan menampilkan beberapa bentuk sikap hidup yang kami rasa dapat menjadi penyebab runtuhnya nilai kesetiaan, yaitu:

3.1. Sikap Hidup Hedonisme

Sikap hedonisme atau sikap yang mengutamakan kenikmatan, biasanya akan menjadi pemicu bagi seseorang untuk tidak berkomitmen dalam kesetiaan. Ciri khas orang yang demikian biasanya sukar berkorban dan sukar untuk menahan diri untuk mengejar kenikmatan. Ia cepat sekali merasa terpacu untuk menikmati sesuatu. Ia mudah menjerumuskan diri dalam pola hidup yang tidak teratur dan berlebihan. Jajan seksual bagi orang hedonisme adalah sama dengan ke restoran. Ia melihat wanita atau pria sebagai obyek seksual untuk mencapai kenikmatan dan kepuasan. Moralnya dalam hal ini jelas tidak berkembang. Bila tidak diimbangi dengan nilai-nilai moral yang baik, maka gaya hidup orang hedonisme ini akan mengarah pada perilaku hidup berselingkuh, perzinahan dan bahkan poligami.

3.2. Perzinahan

Perzinahan adalah hubungan seksual antara dua orang yang berlainan jenis, paling kurang salah satu dari mereka telah menikah. Perilaku zinah ini jelas menunjukkan sikap ketidaksetiaan dalam hidup perkawinan. Lebih kerap alasan dari ketidaksetiaan ini selalu diawali dengan sikap tidak pedulinya seorang pasutri yang menganggap pasangannya sebagai obyek seksual dan emosional. Perilaku perzinahan biasanya membawa kerugian bagi cinta, harmoni dan stabilitas dalam keluarga dari pasangan yang menikah. Cinta dari pasangan yang melakukan perzinahan lazimnya akan terbagi. Perzinahan juga telah melanggar sumpah setia perkawinan dan ikrar pada saat menerima sakramen perkawinan. Resiko terbesar dari perzinahan adalah bahwa anak-anak yang dihadiahkan bagi kehidupan tidak terawat dengan baik. Perzinahan dapat dihindari apabila suami dan istri mau menghayati sikap saling mencintai dan menghargai satu sama lain.

3.3. Poligami

Poligami adalah bentuk perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria yang memiliki lebih dari satu istri. Bagi Gereja Katolik poligami merupakan pelanggaran langsung prinsip monogami.[3] Pada budaya tertentu dan juga ajaran agama Islam, poligami tidak dilarang. Para pelaku poligami sering kali mengaitkan tindakan itu dengan syarikat Islam. Alasannya mengikuti sunah Rasulullah.[4] Islam juga mengatur agar penyaluran syahwat bermanfaat secara sosial, terutama untuk mengayomi anak yatim dan janda. Ada juga orang berpandangan bahwa poligami lebih bermanfaat dibanding melakukan pelacuran. Biar bagaimanapun, poligami merupakan salah satu masalah seks dan bentuk perilaku ketidaksetiaan.

3.4. Pudarnya Kualitas Komunikasi

Sumber pemicu ketidaksetiaan yang lain ialah pudarnya komunikasi antara pasangan suami istri. Dalam kehidupan perkawinan, komunikasi merupakan suatu ketrampilan (skill) yang diperlukan untuk membangun dan memelihara hubungan yang sehat. Melalui komunikasi, suami istri bisa saling mengungkapkan atau mewujudkan cintanya, baik melalui kata-kata maupun melalui tindakan (verbal dan non-verbal). Dengan berkomunikasi maka pasangan suami istri dapat saling mengekspresikan realita yang ada dalam dirinya masing-masing, sehingga mereka bisa saling mengetahui, mengerti, memahami, dan mencintai satu sama lain.[5] Tentu saja hal tersebut dapat terjadi bila masing-masing pribadi mau saling terbuka dan jujur.

3.5. Sikap Puber Kedua yang Suka Berpetualang Cinta[6]

Secara psikologis, istilah puber kedua hendak menunjukkan perilaku seseorang yang memasuki usia lanjut, yaitu usia berkisar 50-65 tahun. Pada zaman modern orang seperti ini masih dapat kita temui di tempat tertentu (di mall-mall, club malam, diskotik). Biasanya orang yang mengalami situasi ini mungkin telah ditinggalkan oleh anak-anaknya, teman karibnya yang sudah meninggal, dan mungkin juga pasangannya (karena perceraian). Orang seperti ini sudah menghadapi pensiun. Ia cenderung mulai menjadi genit atau “kenes”, suka bergaya dan memakai pakaian seperti anak muda. Tidak menutup kemungkinan, orang seperti ini suka berpetualangan dalam bidang seksual, entah sampai menjadi “oom senang” atau “tante girang”. Padahal setiap pertualangan yang mereka lakukan sesungguhnya dapat membawa dirinya lebih dalam pada kekecewaan.


IV. PERANAN GEREJA MEMBINA NILAI KESETIAAN PASUTRI

4.1. Nilai Kesetiaan Pasangan Suami Istri Kristiani

Bagi Gereja, pengungkapan nilai kesetiaan suami istri kristiani sangat nyata dalam dua sifat hakiki perkawinan,[7] yakni perkawinan yang bersifat monogami (unitas) dan tak terceraiberaikan (indissolubile). Secara khusus bila sepasang suami istri dikatakan setia, maka dengan sendirinya mereka telah mewajibkan diri untuk memenuhi janji yang telah diucapkannya baik secara gamblang ataupun tersirat.[8] Lalu apa yang dimaksud dengan kesetiaan dalam monogami dan tak terceraiberaikan itu?

Pengertian kesetiaan sehubungan dengan monogami sering dirumuskan secara negatif, yakni dengan istilah ‘tidak berzinah’. Perkawinan bersifat monogami berarti perkawinan itu terjadi antara satu pria dan satu wanita. Satu pria hanya boleh punya satu istri dan sebaliknya satu wanita hanya boleh memiliki satu suami. Sifat monogami ini didasarkan pada keutuhan dan ke-tak-terbagi-an cinta Kristus kepada Gereja. Jika seorang suami mempunyai beberapa istri (hidup poligami), maka cintanya tidak bisa diberikan secara total kepada istri-istrinya.

Sedangkan, pengertian kesetiaan sehubungan dengan sifat tak terceraiberaikannya perkawinan juga sering dirumuskan secara negatif, yakni dengan istilah suami istri yang ‘tak boleh cerai’, atau bahkan ‘tak bisa cerai’. Artinya, kalau perkawinan sudah disahkan dan suami istri sudah bersetubuh (Ratum et Consumatum), maka suami istri itu tidak boleh cerai dan tidak boleh kawin lagi dengan pria atau wanita lain. Dengan demikian dari suami istri dituntut kesetiaan pada ikatan perkawinan seumur hidup.

Selain kedua sifat perkawinan di atas, Gereja juga mengingatkan pasutri kristiani untuk tetap setia, karena telah berpegang teguh pada keputusan irreversibel. Keputusan irreversibel merupakan janji keputusan untuk setia seumur hidup atau keputusan yang tak dapat ditarik lagi. Adapun prinsip Gereja untuk menekankan keputusan ini adalah pertama, Gereja memiliki prinsip bahwa keputusan irreversibel itu mungkin, meskipun sukar. Kedua, Gereja percaya bahwa kesetiaan dapat terus berlangsung, karena adanya kekuatan tuntutan Kristus dan ajaran Gereja-Nya. Ketiga, Gereja menyakini bahwa kesetiaan itu dapat terus bertumbuh asalkan didasari oleh iman kristiani, khususnya melalui sakramentalitas perkawinan yang mencerminkan dan mementaskan kesetiaan perjanjian Allah. Di sini jelas sekali bahwa untuk tetap setia, maka peranan rahmat Allah dan komunitas Gereja sangat dibutuhkan.

4.2. Pandangan Gereja pada Nilai Kesetiaan Pasutri

4.2.1. Nilai Kesetiaan menurut Kitab Suci

Nilai kesetiaan sebagai bagian dari keutuhan dan kesatuan keluarga yang tak terpisahkan telah ditandaskan oleh Yesus sendiri, “Apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:6; Mrk 10:9). Artinya bahwa suami istri harus mempertahankan kesatuan keluarganya dengan selalu ingat akan janji perkawinannya, yaitu untuk saling mencintai, menghormati sepanjang hidup dan saling setia satu sama lain dalam suka maupun duka, dalam sakit maupun sehat. ‘Setia’ berarti ‘tahan uji’ dengan segala situasi suka maupun duka, terutama dalam situasi malang, menderita, dan pahitnya kehidupan. Kesetiaan yang sesungguhnya memang baru tampak setelah pasutri menghadapi ujian dan salib kehidupan.

Dua orang yang sudah dibaptis bila disatukan dan diberkati di dalam Gereja membentuk sakramen perkawinan. Oleh karena itu, persatuan dan kesetiaan hidup dalam bahtera perkawinan ini diikat dengan ikatan yang disebut cinta kasih sakramental. Artinya, Allah telah menghendaki agar kehidupan suami istri mencerminkan dan mewartakan cinta kasih Allah sendiri. Mengenai cinta kasih sakramental ini Rasul Paulus membuat suatu paralel yang indah dengan mengatakan, “Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat... Demikian juga suami harus mengasihi istrinya seperti tubuhnya sendiri” (bdk. Ef 5:25,28). Demikianlah, surat Paulus ini dapat dijadikan dasar bagi pasangan suami istri kristiani untuk tetap mempertahankan nilai kesetiaan dalam menjalankan hidup berkeluarga.

4.2.2. Nilai Kesetiaan menurut Ajaran Gereja

Nilai kesetiaan dalam ajaran Gereja Katolik juga dikemukakan dalam beberapa pernyataan resmi yang dikeluarkan Tahta Suci. Pertama, Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa monogomi merupakan satu-satunya bentuk perkawinan yang halal bagi orang katolik. Hal ini ditandaskan dalam GS art.49:“Cinta kasih suami istri yang sejati akan dijunjung lebih tinggi, pun juga akan terbentuk pandangan umum yang sehat tentangnya, bila suami istri kristiani sungguh menonjol karena kesaksian kesetiaan dan keserasian dalam cinta itu, dan karena penuhnya perhatian mereka dalam mendidik anak-anak” [9] Kedua, tentang pentingnya nilai kesetiaan bagi pasutri Kristiani, Paus Yohanes Paulus II juga mengingatkan para pasutri untuk setia pada janji perkawinan yang telah mereka ucapkan:“Persekutuan pertama ialah yang terbentuk dan berkembang antara suami isteri: berdasarkan perjanjian kasih perkawinannya suami istri ‘bukanlah dua, melainkan satu daging’ . Mereka dipanggil untuk tetap tumbuh dalam persekutuan mereka melalui kesetiaan dari hari ke hari terhadap janji pernikahan mereka untuk saling menyerahkan diri seutuhnya” (FC art.19)[10].


V. REKSA PASTORAL

Pada zaman modern ini, Gereja merasa perlu mendampingi pasangan suami istri dan seluruh tahap perkembangannya. Mengapa? Karena zaman yang ditandai dengan banyak perubahan di segala bidang kehidupan, ternyata dapat membawa pengaruh positif maupun negatif pada kehidupan perkawinan. Oleh kerena itu, (kaum muda) calon pasutri yang telah berencana memilih hidup panggilan berkeluarga dan para pasutri yang telah menjalankan hidup berkeluarga perlu diberi pendampingan, yaitu dengan usaha:

5.1. Pendidikan Nilai Kesetiaan Sejak Kanak-Kanak.

Pembinaan dan pendidikan nilai-nilai keutamaan, seperti nilai kehormatan, kebenaran dan kesetiaan sesungguhnya sangat tepat jika dimulai sejak masa kanak-kanak. Pada masa ini, orang tua (pasutri) perlu menanamkan diri anak-anak mereka nilai-nilai manusiawi dan kristiani, baik dalam hubungan antarpribadi maupun hubungan sosial dengan orang lain. Misalnya saja, orang tua harus menunjukkan sikap kesetiaan kepada anak-anaknya, agar mereka pun dapat memahami arti kesetiaan. Anak-anak yang sejak semula mengalami dan mempunyai gambaran positif mengenai hidup berkeluarga sebagai panggilan hidup dari Allah, maka bila kelak membangun keluarga, mereka pun akan meniru dan melakukan apa yang dahulu mereka lihat dan dicontohkan oleh orang tuanya.

5.2. Pendidikan Nilai Kesetiaan pada Pasutri.

Godaaan dapat mengakibatkan seseorang menempuh jalan pintas melawan keyakinannya sendiri. Oleh karena itu, Gereja perlu menyelenggarakan pendidikan kesetiaan yang benar bagi pasutri, yakni dengan cara membuka ruang konseling keluarga (baik di paroki maupun pastoral keluarga center). Pasutri perlu diberi pengertian yang jelas tentang sejumlah masalah yang mempersulit kesetiaan, misalnya: sikap labilitas, sikap plin plan, kecenderungan menjadi lekas jenuh, dan kesulitan mengatur diri sendiri dalam menjalankan hidup perkawinan.

5.3. Meningkatkan Budaya Berkomunikasi.

Bila salah satu sumber ketegangan dan konflik antara suami istri terletak dalam kurangnya kuantitas dan kualitas komunikasi, atau bahkan tiadanya atau salah komunikasi, maka kiranya pasutri tersebut perlu diarahkan untuk mengembangkan budaya komunikasi. Salah satu contoh usaha ini ialah para pasutri dapat dianjurkan untuk ikut menjadi anggota Marriage Encounter, ikut kegiatan seminar-seminar keluarga, dan pelatihan komunikasi bagi keluarga

5.4. Pendalaman dan Penghayatan Iman

Meskipun selayang pandang rupanya keberhasilan perkawinan tak terlalu ditentukan faktor iman, melainkan lebih oleh faktor sifat-sifat kemanusiaan, misalnya watak suami istri dan situasi serta kondisinya, faktor iman tidak boleh diabaikan.[11] Gereja dalam hal ini perlu meningkatkan kekuatan iman bagi para pasutri kristiani untuk lebih menghayati makna doa dan sakramen perkawinan. Dalam hal ini Gereja perlu meningkatkan program retret keluarga dan retret pasutri, seperti: mengadakan retret tulang rusuk.

5.5. Memberi Pemahaman yang Baru Tentang Kesetiaan

5.5.1. Kesetiaan itu adalah kehadiran.

Selama masa pacaran, setiap pasangan sejoli biasanya ingin selalu hadir dan dekat dengan orang yang dicintainya. Betapapun sibuknya, mereka selalu berusaha untuk memenuhinya. Tanpa disadari, ketika sudah berkeluarga, suami istri juga memiliki kecenderungan untuk mencari waktu agar bisa hadir, mendengarkan suka duka, ingin saling meneguhkan dan menyembuhkan pasangannya. Melihat kenyataan ini, Gereja perlu terus menghimbau para pasutri untuk meluangkan waktunya bagi pasangannya agar selalu bertemu dan berkumpul bersama. Tujuannya ialah agar para pasutri mau saling berbagi rasa, berkomunikasi, dan memupuk cinta yang mendalam.

5.5.2. Kesetiaan itu adalah sikap mau melakukan hal-hal yang sederhana dan terus

menerus.

Gereja juga perlu mendukung para pasutri untuk mengisi perkawinan mereka dengan mengambil sikap hidup yang mampu membangun nilai cinta dan kesetiaan. Sikap ini dapat dilakukan dalam bentuk perbuatan yang sederhana namun dapat memberi kesan yang mendalam bagi pasangannya, seperti: memberi perhatian istimewa, membawakan bunga, memberi kecupan, saling memberi pujian atau saling merangkul mesra yang selalu dilakukan terus menerus.


VI. PENUTUP

Dunia modern dan global telah merambah hampir ke seluruh sendi kehidupan manusia. Perubahan demi perubahan terus terjadi. Dampak negatifnya bagi perkawinan dan kehidupan keluarga kian terasa. Banyak nilai keutamaan untuk menjaga keutuhan perkawinan, yang selama ini dipegang perlahan-lahan telah memudar. Di satu pihak, kita bisa melihat bahwa banyak keluarga dengan sekuat tenaga telah berusaha tetap setia kepada nilai-nilai Kristiani. Namun di lain pihak, banyak keluarga lain yang masih bingung atau tidak percaya akan pentingnya nilai-nilai itu atau – karena situasi tertentu – tidak mampu menghidupi atau menghayatinya.

Gereja menyadari pentingnya keluhuran nilai perkawinan dan hidup berkeluarga. Oleh karena itu, Gereja ingin membantu mereka yang hidup di dalam keluarga, terutama bagi kaum muda yang sedang memulai perjalanan menuju kehidupan perkawinan untuk terus belajar hidup setia. Penekanan Gereja Katolik pada nilai kesetiaan dapat dilihat dari sifat perkawinan kristiani yang monogami dan tak-terceraikan, yang dituntut karena atas dasar kepenuhan cinta dan demi kesejahteraan anak-anak.

Gereja tahu bahwa menurut pertimbangan banyak orang zaman sekarang, sifat perkawinan kristiani itu terlalu sulit untuk dijalani dengan sungguh-sungguh. Banyak orang zaman modern telah dipengaruhi oleh budaya yang menolak indissolubilitas perkawinan. Biar bagaimanapun Gereja harus tetap berusaha menyadarkan para pasutri untuk menghayati cinta perkawinan mereka sebagai cinta permanen dan cinta yang utuh untuk seumur hidup. Selain itu Gereja juga berkewajiban untuk mengingatkan mereka bahwa perkawinan kristiani adalah buah dan tanda cinta kesetiaan Allah kepada mereka, sebagaimana menjadi buah dan tanda kesetiaan Kristus kepada Gereja.


DAFTAR PUSTAKA

Aristoteles. Sebuah “Kitab Suci” Etika, Nicomachean Ethics (terj. Embun Kenyowati). Jakarta: Teraju, 2004.

Go, Piet dan Maramis, W.F. Kesetiaan Suami-Istri dan Soal Penyelewengan. Malang: Dioma, 1990 .

Hadiwardoyo, Purwa, Surat untuk Suami Istri Kristen Jilid 2, Yogyakarta: Kanisius, 1995

Handoko, Petrus Maria, Sakramen Perkawinan (promanuscripto), Malang: STFT Widya Sasana, 2004,

Hardiwiratno, J. Menuju Keluarga Bertanggung Jawab. Jakarta: Obor, 1994.

Konsili Vatikan II, “Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini” (GS) dalam Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R.Hardawiryana, SJ. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, Obor, 1993.

Lane, Cristy & Stevens, Laura Ann. Mengatasi Masalah Perkawinan. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Paulus II, Yohanes, Familiaris Consortio (Keluarga), terj. R.Hadawiryana, SJ., Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993.

Peschke, Karl-Heinz, Etika Kristiani Jilid II, Kewajiban Moral Dalam Hidup Pribadi. Maumere: Ledalero, 2003.

Wiyana, Dwi, “Setelah Kejutan Poligami Aa Gym” dalam Majalah Tempo, Edisi 11, tanggal 17 Desember 2006, hlm.108-110.



[1] Bdk. Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, Maumere: Ledalero, 2003, hlm.215.

[2] Bdk. Purwa Hadiwardoyo, Surat untuk Suami Istri Kristen Jilid 2, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm.12.

[3] Paus Yohanes Paulus II menandaskan: “Poligami sama sekali bertentangan dengan persekutuan yang demikian itu: poligami direk mengingkari rencana Allah seperti yang diwahyukan pada awalnya; karena poligami melawan martabat yang sama pria dan wanita, yang dalam perkawinan saling menyerahkan diri dengan cintakasih yang total dan karenanya unik dan eksklusif. Bdk. Piet Go dan W.F. Maramis, Kesetiaan Suami Istri dan Soal Penyelewengan, Malang: Dioma,1990, hlm.10.

[4] Bdk. Dwi Wiyana, “Setelah Kejutan Poligami Aa Gym” dalam Majalah Tempo, Edisi 11, 17 Desember 2006, hlm.110.

[5] Komunikasi adalah suatu tindakan berbagi diri (sharring) antara dua orang atau lebih. Lazimnya tindakan ini bukan hanya membagi ide-ide, pikiran, pengetahuan, tetapi juga dan lebih-lebih membagikan perasaan: takut, kecewa, jengkel, sedih, senang, was-was, dan sebagainya.

[6] Piet Go dan W.F. Maramis, op.cit., hlm.35.

[7] Pada hakekatnya perkawinan adalah sebuah perjanjian (convenant) antara seorang pria dan seorang wanita atas dasar suatu keputusan pribadi untuk saling menyerahkan diri secara total dan mengikat hubungan mantap sebagai suami dan istri dalam suatu kesatuan sosial yang erat dan stabil. Bdk. Petrus Maria Handoko, Sakramen Perkawinan (promanuscripto), Malang: STFT Widya Sasana, 2004, hlm.10.

[8] Bdk. Karl-Heinz Peschke, op.cit., hlm.215.

[9] Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes” tentang CintaKasih Suami Istri, hlm.334.

[10] Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, hlm 35.

[11] Bdk. Piet Go dan W.F. Maramis, op.cit., hlm.14.

24 September 2008

LENTERA KEHIDUPAN 1




LENTERA KEHIDUPAN

Kehidupan tidak akan terus bergulir mulus
seperti yang kita harapkan.
Ada banyak peristiwa yang menyenangkan,
tapi ada juga kejadian yang mengecewakan.

Suatu hari;
entah hari ini, hari esok, ataupun hari lusa
Kita pasti akan berjumpa dengan
orang-orang yang membuat kita tertawa,
dan bahkan kita juga harus berhadapan dengan
orang-orang yang menjengkelkan.

Itulah segelentir kehidupan;
Betapa tragisnya jika kita hanya mau menempatkan
sukacita kita pada hal-hal yang menyenangkan,
sedangkan di sisi lain
kita tidak pernah mau menerima
bahwa hidup ini ada pula kekecewaan.

Cepat atau lambat suatu hari kita akan sadar dan berkata,
"Ayo mari kita nikmati segala sesuatu yang kita miliki
sebagai bagian dari
dinamika kehidupan dan anugerah Tuhan."

(Malang, 24-o9-2008)

HUMOR 1


Pulang Cepat


Seorang ibu heran melihat anak putra kesayangannya

Pulang sekolah lebih cepat dari biasanya.

“Saaaayang,….mengapa kamu pulang sekolah lebih awal?”

“Karena hari ini aku adalah satu-satunya murid yang bisa menjawab pertanyaan pak guru dengan benar, mam.”

“O... iya……yang benar nih?” tanya maminya dengan senyum bangga

“Benar dong..... mamiiiii.”

“Memangnya, tadi pak guru tanya tentang apa nak?”

“Pak guru bertanya: Siapa yang melempar kepala pak guru dengan penghapus dari belakang?”


(Malang, 24-09-2008)

21 September 2008

"Teologi Kontekstual" menurut Stephen B Bevans

Teologi Kontekstual Sebagai Imperatif Teologis

Stephen B. Bevans dalam bukunya Teologi Kontekstual telah memperkenalkan suatu gagasan baru mengenai model teologi yang tepat untuk zaman sekarang. Pada bab I (pertama) ini Bevans telah memaparkan refleksinya kepada kita tentang bagaimana kita harus berteologi dari sudut pandang yang baru. Tampaknya Bevans ingin mengajak kita untuk memahami iman Kristen yang dipandang dari segi suatu konteks tertentu. Bagi Bevans berteologi dari konteks bukanlah hal yang mustahil dan mengada-ada, terbukti bahwa pada zaman sekarang istilah kontekstualisasi semakin populer. Hal itu dapat kita lihat dengan munculnya berbagai macam teologi, seperti: teologi feminis, teologi hitam, teologi pembebasan, teologi Filipina, teologi Asia-Amerika, teologi Afrika, dll.

Berteologi kontekstual adalah tugas dan tanggungjawab semua orang beriman Kristiani. Semua orang Kristiani ditantang Bevans untuk berani berteologi dari konteks. Dalam kontekstualisasi, orang akan berhadapan dengan konteks kebudayaan dan agama yang tradisional di satu pihak, tetapi di pihak lain bergumul juga dengan konteks modernisasi yang menyebabkan perubahan nilai, khususnya segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat manusia. Sudah tentu, teologi kontekstual bukan lagi menjadi suatu pilihan yang bersifat fakultatif, melainkan suatu imperatif teologi.

Bevans juga telah menunjukkan kepada kita tentang segi ketidaksinambungan dan kesinambungan dari sebuah pendekatan kontekstual terhadap teologi dalam perbandingannya dengan teologi tradisional atau klasik. Dalam hal ini, Bevans telah menunjukkan perbedaan teologi klasik dengan teologi kontekstual dari sudut cara berteologi. Pada teologi klasik, teologi dimengerti sebagai sebuah refleksi dalam iman yang menyangkut dua sumber berteologi (loci theologici), yakni Kitab Suci dan tradisi. Sedangkan pada teologi kontekstual, kita tidak saja harus memakai dua sumber teologi, tetapi juga kita perlu mengakui keabsahan locus theologicus yang lain, seperti pengalaman manusia jaman sekarang. Dengan kata lain, teologi kontekstual telah memakai tiga sumber untuk berteologi, yakni Kitab Suci, tradisi dan konteks hidup manusia jaman sekarang. Dengan demikian Teologi Kontekstual memahami teologi sebagai sesuatu yang subjektif. Sedangkan Teologi klasik lebih memahami teologi sebagai sesuatu yang bersifat objektif.

Bagi Bevans, manusia zaman sekarang harus menjadi subjek berteologi sesuai dengan pengalaman hidupnya. Dalam hal ini Bevans sependapat dengan Chales Kraft ketika melihat kepribadian manusia dan masyarakat manusia yang selalu terikat oleh kondisi kultural, subkultural serta kondisi psikologisnya untuk menginderai dan menafsirkan apa yang mereka lihat tentang realitas. Selain itu Bevans juga mengambil pandangan beberapa teolog seperti Anthony Gittins, Ian Barbour, Henri Bouillard, untuk mendukung argumennya di dalam mencetuskan teologi secara kontekstual.

Hal menarik dalam teologi Bevans di sini adalah bahwa berteologi kontekstual perlu menampilkan pemahaman mengenai iman secara baru, sekaligus di lain sisi kita juga tidak boleh meninggalkan nilai tradisional yang sudah mengakar. Mengapa? Karena memahami teologi sebagai sesuatu yang kontekstual berarti menegaskan sesuatu sebagai yang baru dan sekaligus tradisional. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa adakalanya teologi kontekstual tidak dapat mencapai sasaran oleh karena beberapa hal: Pertama, adanya pengalaman kehidupan pribadi seseorang atau kelompok tertentu yang sulit mengalami Allah yang penuh kasih di dalam kehidupan mereka. Kedua, adanya pengalaman personal atau komunal dalam budaya tertentu yang merasa adat istiadat, simbol dan mitos dari sistem religius mereka yang tidak dihargai oleh kedatangan kebudayaan baru yang berciri “sekular” atau “religius”. Ketiga, munculnya tuntutan adanya pengakuan dalam konteks “lokasi sosial” seseorang atau satu komunitas.

Bevans juga membuat refleksi atas beberapa faktor, baik eksternal dan internal, yang membuat teologi kontekstual dapat terwujud pada zaman sekarang. Adapun faktor eksternal itu, antara lain: Pertama, adanya suatu ketidakpuasan umum, baik di Dunia Pertama dan Dunia Ketiga, menyangkut pendekatan-pendekatan klasik terhadap teologi. Kedua, teologi Barat klasik, dengan penekanannya pada keselamatan dan moralitas individual tanpa disadari telah mengacaukan kebudayaan yang hanya mengakui individu dalam konteks kelompok. Ketiga, adanya pertumbuhan jati diri Gereja-Gereja lokal telah memberi sumbangsih kepada keniscayaaan pengembangan teologi-teologi yang sungguh-sungguh bersifat kontekstual. Keempat, adanya konflik pemahaman tentang kebudayaan yang disediakan oleh ilmu-ilmu sosial kontemporer.

Sedangkan faktor Internal, meliputi: Pertama, adanya keyakinan bahwa Allah juga akan hadir di tengah-tengah kehidupan manusia zaman sekarang dalam wujud Yesus yang kontekstual. Kedua, Bervans sependapat dengan pemikiran Edward Schillebeeckx mengenai perjumpaan manusia dengan Allah di dalam diri Yesus yang terus berlangsung di tengah dunia melalui hal-hal konkret, seperti sakramen-sakramen. Ketiga, adanya pemikiran teologis yang bermuara pada KV II, yang mulai mengubah penekanannya tentang pewahyuan Allah kepada manusia dengan menggunakan sarana tindakan konkret dan simbol-simbol dalam sejarah manusia. Keempat, adanya keinginan agama Kristen yang menuntut suatu pendekatan kontekstual dalam ihwal berteologi yang berciri khas katolisitas. Kelima, adanya upaya agama Kristen untuk melihat kontekstualisasi yang dapat ditemukan dalam doktrin Trinitas.


Persoalan-Persoalan dalam Teologi Kontekstual



Dalam bab II buku Teologi Kontekstual, Steven B Bevans hendak mengajak kita untuk merefleksikan beberapa persoalan-persoalan dalam teologi kontekstual. Ia menyadari bahwa berteologi kontekstual tidaklah mudah. Teologi kontekstual merupakan cara berteologi secara baru, oleh karena itu seorang teolog sudah tentu akan menghadapi banyak persoalan-persoalan. Secara umum persoalan yang ada di dalam teologi kontekstual dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yakni persoalan dalam metode berteologi, persoalan dalam kiblat dasar berteologi, persoalan dalam kriteria untuk ortodoksi dan persoalan-persoalan yang menyangkut jati diri budaya berhadapan dengan teologi yang sudah ada di dalam sebuah kebudayaan dan perubahan sosial.

Menarik sekali bahwa dalam memaparkan persoalan-persoalan teologi kontekstual, tampaknya pengarang secara tidak langsung ingin memberi motivasi kepada umat Kristen Asia untuk melepaskan diri dari cara pandang khas Barat atau “Teologi Barat”. Sekalipun agak sulit, namun pengarang tetap berusaha menyadarkan umat Asia untuk berteologi dengan cara melihat realitas dalam kebudayaan, religiositas rakyat dan perubahan sosial di Asia

Ada beberapa hal yang ingin ditekankan pengarang di sini, yaitu: Pertama, sudah saatnya umat Asia mulai menghidupi teologi sendiri berdasarkan metode merefleksikan langsung suatu peristiwa dunia dan perubahan kebudayaan pribadi. Meskipun begitu, pangarang juga menekankan agar umat Asia yang akan berteologi secara kontekstual sudah tentu tidak boleh meninggalkan ajaran Kitab Suci dan tradisi kristen. Dengan kata lain pengalaman hidup manusia Asia dan tradisi kristen tetap harus dibaca bersama-sama dalam konteks sebagai Gereja universal.

Kedua, teologi kontekstual tidak lagi harus menjadi bidang pergelutan para teolog “luar” atau teolog Barat (Misionaris Eropa) semata-mata. Teologi justru akan sungguh-sungguh “mendarat di tengah hati umat”, apabila teologi itu muncul dari umat setempat atau umat “pribumi” yang selalu bergelut langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari. Harus diakui bahwa tidak sedikit umat pribumi yang ternyata kurang mendapat pendidikan dan pemahaman yang baik atas kebudayaannya. Diharapkan peran seorang teolog “luar” ialah sebagai partner dialog. Tepatnya sebagai pembantu umat dalam hal membahasakan secara lebih jelas apa yang ingin diungkapkan umat ketika mereka akan berteologi. Di samping itu para teolog “luar” juga diharapkan dapat memperdalam gagasan-gagasan umat dan menyiapkan iman umat untuk melihat kekayaan tradisi Gereja. Sudah tentu para teolog profesional harus menjadi “guru teologi” bagi umat setempat. Para teolog luar justru lebih kompeten dan memiliki wawasan yang kritis untuk melihat segi-segi positif dan negatif dari sebuah konteks kebudayaan yang bersangkutan.

Ketiga, umat Kristen Asia sudah saatnya mengarahkan atau mengkiblatkan dasar teologi Asia yang berpusat pada karya ciptaan Allah. Teologi yang terpusat pada ciptaan sudah tentu harus tertuju pada dunia di mana Allah akan mewahyukan diri-Nya. Bagi orang-orang Asia pewahyuan Allah dapat dirasakan di tempat-tempat yang bagi orang Asia menjadi tempat yang sakral dan beberapa situasi magis yang lahir dari kebudayaan mereka.

Keempat, umat Kristiani Asia juga hendak melihat bahaya nyata apabila kontekstualisasi diterapkan secara tidak bijaksana. Di mana agama Kristen tidak dapat dicampuradukan dengan kebudayaan sedemikian rupa, sehingga bukan saling memperkaya melainkan mengkompromikan dan menghianati agama Kristen. Pengarang berpikir bahwa percampuran agama Kristen dan budaya itu pada akhirnya akan beralih menjadi sebuah “teologi kebudayaan” yang mengikuti jejak teologi liberal abad ke 19. Sebagai contoh, pengarang menggunakan pandangan Kardinal Ratzinger yang pernah mengeluarkan peringatan keras menyangkut percampuradukan teologi pembebasan Amerika Latin dengan ideologi Marxis. Menarik sekali bahwa pandangan pengarang tentang agama yang dicampuradukan dengan kebudayaan kerapkali kita temui dalam kehidupan beragama saudara-saudari kita umat muslim Indonesia. Di mana mereka telah serta merta menerapkan budaya berjilbab dan cadar wajah dari budaya Timur Tengah kepada kaum wanita Indonesia. Akibatnya unsur fanatisme untuk mewajibkan budaya berjilbab bagi kaum wanita telah menjadi suatu bagian dari kebudayaan.

Refleksi:
Dewasa ini, istilah kontekstualisasi semakin populer di belahan dunia ketiga, terutama di negara Asia. Dalam kontekstualisasi, orang Kristen Asia dituntut untuk menciptakan teologinya sendiri-sendiri dengan cara menanggapi konteks kebudayaan, religiositas kerakyatan dan perubahan sosial yang terjadi di negaranya. Secara sederhana kontekstualisasi bagi orang Kristen Asia dapat diartikan usaha menemukan harga diri, jati diri sebagai orang Kristen di dalam konteks di mana mereka menjadi “umat pribumi”.
Motivasi pengarang dalam upaya mengajak kita untuk melepaskan diri dari “teologi Barat” dan memulai berteologi secara kontekstual tampaknya bukanlah hal yang mudah. Menurut hemat saya, mentalitas ini tidak menutup kemungkinan perlahan-lahan akan membentuk sikap umat Asia untuk tidak menghargai sejarah Gereja lagi. Padahal bukankah teologi yang selama ini diakui sebagai “teologi Barat” atau khas Roma telah ikut membentuk konsep berpikir teologi dan gereja? Kalo memang demikian maka pemisahan diri dari “Teologi Barat” harus dimulai dari pemisahan semua “pengaruh Barat” yang telah melekat dalam pikiran teologi dan gereja. Pertanyaan adalah “apakah pemisahan ini mungkin dapat terlaksana? Lalu apa dampak positif dan negatifnya bila kita meninggalkan teologi Barat?