23 Mei 2009

“Gagasan Keadilan Sosial Dalam Pidato Soekarno” (Tinjauan Analisis Sosiologis Pidato Soekarno)



1. PENDAHULUAN
Konsep keadilan sosial di negara Indonesia telah mendapat tempat yang utama oleh para bapa pendiri bangsa. Hal ini jelas sekali dapat dibuktikan dari gagasan Soekarno dalam pembicaraannya tentang Dasar Negara Indonesia di dalam sidang BPUPKI (1 Juni 1945). Akan tetapi dalam kenyataannya harapan Bung Karno kepada bangsa Indonesia yang telah mengalami kemerdekaan ini malah tidak terwujud sebagaimana mestinya.

Terbukti bahwa segala bentuk ketidakadilan dan penindasan terhadap bangsa Indonesia ternyata masih dapat kita jumpai di mana-mana, terutama sekali dalam kehidupan masyarakat minoritas yang masih mengalami ketidakadilan dari sikap para pejabat negara. Meskipun di Indonesia sudah menerapkan sistem demokrasi reformasi namun kebobrokan moral para pemimpin bangsa masih terasa. Tak sedikit wakil rakyat ditunjuk dan diangkat dari kalangan kenalan para penguasa dan pengusaha. Kasus korupsi, kolusi dan nepotisme masih tetap menjadi bahan berita hangat di media massa. Pengusuran pedagang kaki lima dan kaum miskin masih juga menjadi bagian dari program bayangan agenda tata kota. Lebih mengenaskan lagi ternyata praktek penghambatan membangun rumah ibadah masih saja berjalan. Tidak ketinggalan birokrasi kantor pemerintahan yang suka mempersulit etnis Tionghoa juga masih bisa kita jumpai.

Oleh karena banyaknya kasus ketidakadilan sosial di negeri ini, maka penulis tertarik untuk membahas gagasan Keadilan Sosial dalam pidato Soekarno dalam menanggapi toleransi hidup berbangsa, ditinjau dari analisis sosiologis. Melihat bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, maka dalam paper ini penulis akan mencoba memaparkan beberapa kegagalan para wakil bangsa Indonesia yang belum memahami gagasan Soekarno tentang keadilan sosial. Dalam menyusun paper ini penulis akan menggunakan metodologi analisis teks pidato Soekarno dan studi perpustakaan.

2. PENGERTIAN KEADILAN SOSIAL
Masyarakat yang tertata baik dalam keharmonisan dan keadilan merupakan cita-cita semua bangsa. Semua orang dalam satu negara selalu menginginkan hidup dalam keadilan dan persamaan hak dengan berpedoman pada peri kemanusiaan. Dengan demikian segala aspek yang melingkupi hidup masyarakat sudah tentu harus ditata seadil mungkin. Undang-undang yang adalah sarana penataan semua warga negara Indonesia, dengan demikian haruslah disusun sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi norma keadilan. Termasuk dalam hal ini pelaksanaan hidup bernegara bagi para pemimpin bangsa.

Menarik sekali bahwa konsep keadilan sosial telah menjadi salah satu pemikiran filosofis presiden Soekarno. Hal ini ditegaskan dalam sebuah pidato kuliah umum tentang “Pancasila”, yang diselenggarakan “Liga Pancasila” di istana negara. Adapun menurut Soekarno arti dari kata keadilan sosial itu ialah:

“Keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan. Tidak ada – sebagai yang saya katakan di dalam kuliah umum beberapa bulan yang lalu – exploitation de l’homme par l’homme.”

Pemikiran Bung Karno tentang keadilan sosial ini sungguh jelas, tepat, sistematis dan tegas. Tampak sekali bahwa Seoekarno sangat memprioritaskan nilai keadilan dan menjunjung tinggi nilai hak-hak asasi manusia dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sudah tentu, lahirnya gagasan tentang definisi keadilan sosial ini merupakan hasil refleksi Soekarno tentang masa gelap sejarah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia telah mengalami penderitaan, penindasan, penghinaan dan penghisapan oleh penjajahan Belanda dan Jepang. Pernyataan teks di atas membuktikan bahwa Soekarno ingin mencanangkan keadilan sosial sebagai warisan dan etika bangsa Indonesia yang harus diraih.

Upaya agar keadilan sosial dapat terwujud, maka keadilan sosial itu harus dimulai dari hidup bermasyarakat. Soekarno menyadari bahwa negara Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa akan mencapai keadilan sosial asalkan rakyat Indonesia telah dipersatukan menjadi satu bangsa, yakni bangsa Indonesia. Pemahaman aspek persatuan ini jelas tidak bisa terlepas dari aspek “rasa” setiap orang. Rupanya konsep tentang persatuan bangsa ini sudah lama digagas oleh Soekarno. Hal ini dapat dibaca dalam isi pidatonya:

Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti yang akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buatan Negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.

3. REALITAS HIDUP BERBANGSA DI INDONESIA
Dalam mencetuskan gagasan tentang keadilan sosial, Bung Karno tampaknya sudah memahami situasi negara Indonesia dan bangsanya yang rawan terjadi konflik. Indonesia sebagai negara yang pluralistis, terdiri dari bermacam-macam agama, etnis, suku, budaya maupun ras rupanya memiliki tantangan tersendiri bagi Soekarno. Tampaknya Soekarno sudah berpikir jauh bahwa bangsa Indonesia suatu saat nanti harus menghadapi paham pluralitas yang amat kompleks. Jika tidak ditata dengan baik, maka sudah tentu bangsa Indonesia akan menghadapi konflik besar, terlebih lagi bila konflik itu menyangkut konflik individual dan sosial.

Lalu apa yang dimaksud dengan konflik individual dan sosial di sini? konflik individual dan sosial itu dapat muncul antara lain disebabkan karena adanya ketidakpuasan batin seseorang untuk menerima dirinya sendiri, berhadapan dengan orang atau pihak lain, adanya perasaan cemburu, dengki, iri hati, benci dan berjiwa kontroversial. Konflik individual, jika tidak cepat ditanggulangi, maka cepat atau lambat akan membawa dampak pada konflik yang lebih besar, yakni konflik sosial. Sebagai contoh adanya “Rakyat kecil” yang tidak berprinsip hidup baik umumnya mudah dihasut dan “dibeli” oleh kaum actor intellectual yang bersaku tebal dan berambisi dalam dunia politik. Akibatnya gara-gara masalah lahan, isi perut, sandang pangan dan papan, pekerjaan, uang, dan kuasa, maka cepat atau lambat rakyat kecil itu bisa terlibat dalam konflik sosial yang menelan nyawa manusia .

Berbicara tentang cara mencapai keberhasilan ide menunju keadilan sosial ini, maka Soekarno melihat bahwa keadilan sosial tidak bisa terlepas dari usaha mempersatukan bangsa. Demikian juga bahwa persatuan bangsa juga tidak bisa lepas dari tata negara “Gotong Royong”. Apa yang dimaksud dengan Gotong Royong?

Menurut Soekarno : “Gotong-royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah salah satu faham yang statis, tetapi gotong-rouong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo: satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!Itulah gotong-royong!

Teks ini merupakan pernyataan Soekarno untuk mengajak masyarakat Indonesia memahami bagaimana bangsa Indonesia harus mencapai visi-misi dan tujuan negara Indonesia. Pernyataan ini jelas memberikan pemahaman baru dalam aspek sosiologis, bahwa sistem Gotong-Royong adalah bagian dari nilai kehidupan keluarga dan warisan budaya bangsa Indonesia yang berharga. Pernyataan tentang negara Gotong Royong hendak mengarah pada nilai kebersamaan dan persatuan bangsa. Inilah konsep negara yang dicita-citakan Soekarno, yakni membentuk suatu komunitas yang solid dan kuat. Komunitas yang terhimpun dari berbagai macam suku, agama, ras, bahasa, dan kebudayaan.

Soekarno sangat memahami karakter asli orang Indonesia yang sesungguhnya memiliki kemampuan untuk maju dan mensukseskan pembangunan bangsanya. Mengapa? Karena Soekarno tahu dengan persis bahwa konsep Gotong Royong adalah milik masyarakat Indonesia sejak dahulu. Seluruh penjuru kepulauan Indonesia memiliki warisan dari nenek moyang mereka untuk bergotong royong.

Soekarno memiliki buah pikiran yang cemerlang tentang keadilan sosial. Gagasan keadilan sosial tidak bisa terlepas dari gerakan persatuan dan gotong royong. Justru bangsa yang tahu bersatu dan mau berkerjasama akan dapat memahami nilai keadilan sosial. Pernyataan ini ditegaskan lagi oleh Soekarno dalam pidatonya yang berbicara tentang nilai kebersamaan untuk mencapai cita-cita bangsa, yakni menciptakan masyarakat adil dan makmur.

“Di dalam penyelenggaraan masyarakat adil dan makmur semua memberikan tenaganya. Insinyur-insiyur memberi tenaganya, dokter-dokter memberi tenaganya, tukang-tukang gerobak memberi tenaganya, ahli-ahli ekonomi memberi tenaganya, ahli-ahli dagang memberi tenaganya, ahli-ahli pertahanan memberi tenaganya, semua memberi tenaganya. Bercorak macam, tetapi toh menjadi satu harmoni menyusun satu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila”. Bangsa Indonesia tetap membutuhkan partner dalam berjuang dan membangun negara yang adil dan makmur. Keadilan sosial tidak bisa dibangun oleh satu pihak saja, akan tetapi keadilan sosial adalah tanggungjawab semua bangsa.

4. RELEVANSI
Dewasa ini negara Indonesia sedang dilanda konflik individu dan partial di dunia elite politik dan pejabat negara, baik pejabat tingkat pusat dan daerah. Kerinduan rakyat untuk mendapat pemerintahan yang jujur, bersih, dan bertanggungjawab tampaknya hanya wacana dan sebatas harapan. Ketidakadilan hukum telah merambat ke bidang politik, agama, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan semua sektor kehidupan. Sistem monopoli masih berkembang. Agama masih dijadikan pemicu konflik yang efektif. Pendidikan seakan-akan hanya dimiliki oleh anak-anak berduit, pejabat, penguasa, dan berkedudukan sosial tinggi.

Begitu pula kesehatan seolah-olah hanya disediakan dan ditujukan bagi orang-orang kaya. Tidak sedikit rakyat miskin menderita sengsara karena tidak mampu membayar pelayanan seorang dokter ahli. Harga obat tidak lagi murah, malahan mencekik. Di lain sisi, banyak orang ingin lari dari hidup sengsara sehingga mereka berbondong-bondong ingin menjadi pejabat dan wakil rakyat. Segala cara telah mereka lakukan, entah dengan membuat ijasah palsu sampai meminjam uang untuk dana kampanye. Lalu ketika mereka terpilih, semua janji-janji kampanye sudah berubah menjadi lahan basah bagi kepentingan pribadi.

Tampaknya situasi memasuki masa pemilihan wakil rakyat tahun 2009 nanti juga akan mulai merangsang konflik sosial di tengah rakyat kecil. Hampir setiap periode pemilihan umum, bangsa Indonesia sudah mengenal gerakan “Serangan” sejumlah anggota DPR terhadap Presiden Reformasi terpilih. Para lawan politik yang dahulu tidak terpilih menjadi presiden mulai berusaha melakukan jurus-jurus ampuh, untuk menjatuhkan lawan kampanye mereka. Melihat kenyataan adanya sikap mengejar kuasa dari kalangan elite politik, maka banyak para elite politik mengorbankan kepentingan dan kesejahteraan rakyat kecil dengan memperioritaskan ambisi pribadi.

Kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial yang merupakan cita-cita hakiki perjuangan para founding fathers sejak mempersiapkan kemerdekaan negara, tampaknya sudah mulai luntur bahkan tidak mendapat perhatian. Kesejahteraan rakyat yang harusnya mendapat jaminan hidup, rumah tinggal, pekerjaan, kebebasan beragama, dan pendidikan akhirnya hanya bersifat wacana dari setiap program pembangunan pemerintah. Harus diakui bahwa salah satu hal yang paling mudah ditemukan saat ini ialah kondisi pendidikan di Indonesia yang amat memprihatinkan. Masalah perndidikan telah meliputi infrastruktur yang menyedihkan, gaji guruh yang rendah, anggaran sektor pendidikan yang secuil atau murah dan mudahnya gelar-gelar akademik dijual oleh lembaga-lembaga pendidikan yang mengklaim memiliki hubungan dengan perguruan tinggi di luar negeri.

5. PENUTUP
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah waktunya bangsa Indonesia mulai menanamkan kepada diri sendiri suatu semangat untuk menegakkan keadilan sosial secara merata. Keberhasilan mencapai keadilan sosial itu akan terwujud apabila bangsa Indonesia selalu terbuka memupuk nilai persatuan dan gotong royong. Menegakkan keadilan sosial dalam masyarakat kita harus diawali dari diri kita sendiri, terutama di awali dari dalam keluarga. Sudah tentu untuk mencapai tujuan kita membutuhkan proses yang panjang dan kesabaran.

Untuk mencapai mentalitas yang memiliki keadilan sosial itu, bangsa Indonesia perlu menjadi "man of character"; manusia yang memiliki karakter. Soekarno telah membuktikan kepada kita. Kerja, semangat, strategi dan iman teguh menjadi kata kunci keberhasilan dan terutama akan menjadi kepuasan batin kita untuk menwujudkan nilai keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA


Chang, William, Kerikil-Kerikil Di Jalan Reformasi, Jakarta: Kompas, 2002.

Go, Piet, Peran serta Orang Katolik dalam Politik, Malang: Dioma, 1990,

Soekarno, Pantjasila Dasar Filsafat Negara oleh Bung Karno, Djakarta: Jajasan Umpu
Tantular, 1960

Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI),Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia,
1995.

Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Ed.Herbert Feith, Lance Castles, Jakarta:
LP3ES, 1988

Tidak ada komentar: