23 Mei 2009

Konsep Tanggung Jawab Manusia Menurut Pemikiran Confusius dan Emmanuel Levinas Pengantar Konsep ‘tanggung jawab’ memang bukan terminologi baru dala

I. Pengantar

Konsep ‘tanggung jawab’ memang bukan terminologi baru dalam dunia filsafat. Umumnya pemikiran filsafat Barat dan Timur tentang tanggung jawab selalu dikaitkan dengan konsep manusia ideal dan etikanya. Meskipun begitu harus kita sadari bahwa berbicara dan menerapkan konsep tanggung jawab yang tepat ke dalam manusia ideal bukanlah hal yang mudah. Seringkali kita akan mengalami kesulitan untuk memahami konsep dan makna tanggung jawab dengan pemikiran orang yang berbeda budaya maupun bahasa dengan kita.

Dalam paper filsafat perbandingan ini penulis ingin mencoba membahas tentang konsep “tanggung jawab” menurut pandangan Confusius dan Emanuel Levinas. Penulis melihat bahwa pemikiran filsuf Timur dan Barat tentang tanggung jawab sudah tentu memiliki banyak persamaan dan perbedaan, mengingat gagasan mengenai manusia ideal sudah pasti mengarah pada karakter etika yang universal.

II. Konsep Tanggung Jawab Manusia Menurut Confusius[1]

Etika Confusius selalu menekankan bahwa seorang manusia dalam hubungannya dengan manusia lain harus mengikuti tatacara kehidupan yang telah dibangun oleh para bijak kuno sesuai dengan tatacara alam (Tao).[2] Melihat penekanan ajaran etika ini, penulis menyadari bahwa ajaran etika Confusius tentang tanggung jawab manusia dapat dilihat dari pandangannya mengenai ‘Sam Kang’ (tiga hubungan tata krama).[3] Pada prinsipnya ‘Sam Kang’ ini bertujuan untuk mengarahkan sikap hidup manusia untuk menciptakan relasi yang harmonis terhadap sesamanya. Adapun tata relasi ‘Sam Kang’ ini adalah sebagai berikut:

1. Hubungan baik seorang raja dengan menterinya (hubungan antara atasan dengan bawahan).

Ajaran etika ini dapat dilihat di dalam Kitab Sabda Suci III:19 yang menyatakan: “Seorang pemimpin hendaknya memerintah pembantunya sesuai dengan Kesusilaan dan seorang pembantu mengabdi pemimpinnya dengan Kesetiaan”.[4] Tampaknya ajaran Confusius ini hendak menggambarkan perilaku seorang pemimpin yang baik dan bijaksana. Seorang pemimpin tidak boleh bersifat otoriter terhadap bawahannya. Ia juga harus bersifat arif dan bijaksana terhadap orang yang dipimpinnya. Begitu juga sebaliknya seorang bawahan haruslah dapat menghormati atasannya sebagaimana layaknya seorang atasan.

2. Hubungan baik antara orangtua dan anak

Ajaran etika Confusius hendak mengajarkan sikap seorang ayah dan anak yang baik. Menurut pendapatnya: “Raja berfungsi sebagai raja, menteri berfungsi sebagai menteri, ayah berfungsi sebagai ayah dan anak berfungsi sebagai anak.” (Lun Gi XII:11)[5]. Inti ajaran Confusius ini hendak mengajarkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, seorang harus dapat menempatkan status dan fungsi sosialnya dengan baik, entah dalam keluarga dan masyarakat. Seorang ayah harus menunjukkan sikap seorang ayah bagi anak-anaknya. Begitu sebaliknya seorang anak harus dapat menyenangkan hati orangtuanya dan masyarakat. Perkataan Confusius di atas merupakan suatu nasehat untuk menggambarkan bahwa dalam kehidupan keluarga, hendaklah ‘yang tua’ bersedia menghormati ‘yang muda’. Demikian juga sebaliknya orang muda harus berbakti kepada orang tua, baik orang tua yang berada di dalam maupun di luar rumah. Artinya seorang muda (usianya) juga harus menghormati orang yang lebih tua, meskipun bukan orang tua kandungnya sendiri. “Seorang muda, di rumah hendaklah berlaku bakti, di luar (rumah) hendaklah bersikap rendah hati, hati-hati sehingga dapat dipercaya, menaruh cinta kepada masyarakat, dan berhubungan erat dengan orang yang berperi cinta kasih.” (Lun Gi, I:6)[6]. Menurut Confusius hubungan baik itu hendaklah dilakukan dengan penuh cinta kasih. Apabila ini terjadi maka akan terwujud keharmonisan di dalam keluarga dan masyarakat.

3. Hubungan baik antara suami dan isteri

Menurut Confusius relasi suami isteri haruslah didasari pada sifat-sifat yang baik dan terpuji. Pasangan suami istri yang baik dan harmonis haruslah saling menghormati dan mencintai. Hal ini dapat kita jumpai dalam pandangan salah satu muridnya Confusius, Mencius III, 2:2 yang mengatakan bahwa: “Menurut (mengikuti) sifat-sifat yang benar itulah jalan suci bagi seorang wanita”. Adapun kalimat ini hendak menunjukkan bahwa sikap seorang isteri yang baik haruslah tunduk dan patuh terhadap perintah suaminya. Meski seorang istri dapat menuruti perintah suaminya, bukan berarti sang suami dapat berbuat sekehendak hati. Malah sebaliknya seorang suami yang baik harus berbuat yang terbaik untuk isterinya. Pasangan suami istri diharapkan untuk saling menghormati, rendah hati dan menerapkan nilai-nilai cinta kasih.

III. Konsep Tanggung jawab Manusia Menurut Emanuel Levinas[7]

Gagasan Levinas mengenai tanggung jawab tetap memiliki kekhasannya sendiri. Untuk memahami gagasan Levinas ini, kita perlu memahami konteks umum pemikirannya mengenai relasi antara “aku” dan “yang lain”. Gagasan ini penting, karena untuk mengerti tanggung jawab, kita harus lebih dahulu memahami konsep relasi “aku” dengan “yang lain”. Menurut Levinas, dalam suatu relasi terdapat suatu persyaratan mutlak, yaitu adanya titik tolak dan titik tujuan.[8] Adapun relasi yang dimaksud Levinas adalah antara “aku” dengan “yang lain”. Itu berarti bahwa “aku” adalah titik tolaknya dan “yang lain” adalah titik tujuannya. Lalu bagaimana Levinas mengajak kita untuk memikirkan “orang lain” dan menerapkan gagasan tanggung jawabnya?

Jawaban Levinas dapat kita jumpai dalam beberapa hal. Pertama, kita perlu melihat “wajah” sebagai titik tolak untuk berelasi. Adapun wajah yang dimaksudkan Levinas, bukanlah sebuah wajah dalam arti biologis-anatomis. Akan tetapi, Levinas menekankan wajah sebagai situasi, di mana di depan kita telah muncul orang lain dan sedang menyapa kita (dengan atau tanpa kata-kata).[9] Ketika wajah itu menyapa, kita tidak lagi dapat bersikap acuh tak acuh terhadapnya. Makna wajah itu kiranya berada dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, wajah juga bersifat “apriori”; mendahului segala persepsi kita. Hal ini dapat kita pahami dari hasil wawancara Lavinas dengan Philippe Nemo, di mana Levinas telah menonjolkan dimensi kelemahan manusia dalam rupa wajah telanjang[10]. Kelemahan itu adalah lambang kemiskinan total manusia dan orang yang sama sekali tidak berdaya. Selain itu wajah seperti itu juga hendak menunjukkan bahwa ia sungguh terbuka, tidak ada sesuatupun yang melindunginya. Demikianlah untuk memahami wajah bukanlah dengan pengetahuan, tetapi yang terutama adalah melalui sensibilitas kita.[11]

Menurut Levinas, wajah orang lain itu juga dapat mempersentasikan “Yang tak Berhingga”.[12] Wajah orang lain itu adalah lebih daripada apa yang dimengerti secara rasionil. Dalam wajah itu diwahyukan sesuatu yang tak terbatas. Artinya wajah orang lain yang muncul dihadapan kita, seakan-akan orang lain itu telah memanggil kita dengan kekuasaan dan kewibawaan Allah sendiri. Hal ini juga ditegaskan oleh Levinas, yang berpendapat “Di hadapan yang tak terbatas aku merasa berkewajiban untuk mengakui orang lain sebagai sesama manusia, untuk menghadapi orang lain dengan sikap keadilan dan kebaikan. Dengan bertindak adil terhadap sesama, seseorang akan menjadi penyaksian tentang kemuliaan Allah. Allah yang tidak kelihatan itu tidak dapat dibayangkan, tetapi dapat diakses dalam keadilan.”[13] Etika dalam Levinas ini tidak lain adalah optik rohani, di mana kita dapat “melihat” perjumpaan manusia dengan Allah dalam tanggung jawab atas orang lain. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau dikatakan, bahwa berbuat adil terhadap sesama merupakan warta kemuliaan Allah dan serentak mengalami kehadiran-Nya.[14]

Kedua, Jika Confusius menggambarkan “orang lain” itu sebagai sahabat atau partner, maka bagi Levinas “orang lain” itu adalah ‘tuan’. Artinya, bahwa dalam wajah orang lain mampu memberikan perintah absolut untuk memelihara kehidupannya. Pada saat orang lain muncul sebagai wajah, maka kita tidak berkuasa apa pun terhadap dirinya. Sikap ini adalah suatu undangan etis untuk membela orang-orang kecil, tergusur, lemah dan tanpa daya. Dengan kata lain, wajah itu melarang kita untuk membunuh. Begitu kita berhadapan dengan orang lain, maka kita tidak bisa bebas lagi. Penampilan wajahnya akan menyandera kita untuk bertanggungjawab atasnya. Kita melihat di sini bahwa subsitusi telah menjadi unsur dasar moralitas. Dengan kata lain, moralitas itu diwujudkan ketika kita mensubstitusikan diri kita bagi orang lain.[15]

Ketiga, Levinas juga mengajar kita untuk berelasi dengan orang lain sebagai relasi asimetris[16]. Bagi Levinas, asimetris mengandung arti: “Aku sudah selalu diwajibkan oleh orang lain. Orang lain itu menampakkan dirinya dari tempat yang tinggi. Tetapi ia serentak juga miskin, asing, janda dan yatim piatu. Dia ini harus kuhadapi. Tetapi bagaimana? Aku harus lebih menuntut dari diriku sendiri daripada dirinya.”[17] Bagi Levinas wajah orang lain merupakan panggilan bagi kita untuk menerimanya. Akan tetapi, panggilan itu bersifat etis, yakni mewajibkan kita sedemikian rupa untuk bertanggung jawab atas diri orang lain. Dalam hal ini, Levinas rupanya hendak mengundang semua orang untuk peduli kepada orang lain. Bayangkanlah situasi gawat yang harus dihadapi orang lain yang sedang kelaparan. Di hadapan situasi semacam ini, kita merasa berkewajiban untuk mengurbankan diri untuk menyelamatkan orang lain, sekalipun kita tidak akan menuntut balasan atau imbalan dari orang itu.

IV. Analisa Mengenai Pemikiran Confusius dan Levinas

Masing-masing pemikiran tentang tanggung jawab yang dipaparkan oleh kedua filsuf ini tampaknya memiliki kekhasan tersendiri. Berikut penulis akan memberikan pandangan penulis mengenai persamaan dan perbedaan pandangan mereka yang khas. Pertama, kedua filsuf ini memiliki persamaan konsep tanggung jawab yang mengarah pada pesan humanisme, terutama dalam hal sikap manusia yang harus menjalin relasi antara ‘aku’ dengan ‘orang lain’. Seperti halnya dengan Levinas, Confusius juga mengakui bahwa di dalam berelasi sudah tentu ada ‘yang lain’ sebagai lawan relasi kita, entah posisi ‘yang lain’ itu sebagai atasan, bawahan, orang tua, anak, suami dan istri.

Adapun perbedaan ‘aku’ dan ‘orang lain’ itu dapat dilihat dari ‘nilai suatu relasinya’. Confusius menekankan bahwa ‘aku sebagai orang Cina’ bukanlah berdiri sendiri dan tidak berpisah dengan ‘orang lain’. ‘Aku’ dan ‘yang lain’ merupakan bagian dari satu kesatuan dan cenderung untuk memiliki satu kesatuan nilai ‘perasaan’ yang sudah terbentuk dari tata budaya dan tata alamiah (Tao). Sedangkan Levinas cenderung menekankan ‘nilai relasi’ dengan orang lain sebagai seseorang yang harus dilayani atau sebagai ‘tuan’, oleh karena penampilan ‘wajah’ mereka yang seringkali muncul dan mengusik pikirannya. Di sini jelas sekali bahwa konsep tanggung jawab Levinas sangat kuat dipengaruhi oleh proses akal budi ketika melihat adanya suatu realita. Sedangkan konsep tanggung jawab Confusius bersumber dari gerakan ‘perasaan’ untuk mencapai keselarasan atau keharmonisan yang sudah terbentuk dari ajaran orangtua, orang bijak dan hukum alam yang harmonis (Tao).

Kedua, berbeda dengan Levinas yang memandang wajah ‘yang lain’ sebagai ‘tuan’, maka bagi Confusius wajah ‘yang lain’ itu adalah partner untuk diajak menciptakan kehidupan harmonis secara bersama. Oleh karena itu pemikiran Levinas mengenai wajah yang tidak dapat memberikan kebebasan bagi dirinya tidak sesuai dengan konsep orang bijak ‘Chun Zhu’ yang tenang dan tenteram[18]. Manusia ideal (‘Chun Zhu’) menurut Confusius haruslah orang yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Di samping itu bagi Confusius wajah ‘yang lain’ sesungguhnya juga tidak dapat disamakan dengan “Yang tak Berhingga”. Confusius lebih menekankan “Yang tak Berhingga” itu adalah “Thian” (langit) atau “Shang Ti” yang artinya raja yang di atas. Ia dipandang sebagai seorang kaisar yang bertahta di langit dan mempunyai kekuasaan tertinggi.[19] “Thian” ini hanya dapat dihormati melalui upacara sembahyang penyembahan ke arah langit setiap hari.

Ketiga, gagasan Levinas agar semua orang diharapkan untuk peduli dan bertanggung jawab kepada orang lain dapat diterima dalam pemikiran Confusius. Sikap tanggung jawab itu justru diajarkan oleh Confusius melalui sikap berelasi ‘Sam Kang’ (tiga norma hubungan tata krama). Dalam hal ini Confusius juga pernah menekankan agar relasi itu tidak mengarahkan pada sifat mencari timbal balik, melainkan bahwa manusia harus saling berbakti dan menjalankan kasih.

V. Kesimpulan

Pandangan filosofis Confusius dan Levinas tentang tanggung jawab ternyata memiliki banyak persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah bahwa kedua filsuf ini melihat konsep tanggung jawab untuk mengarahkan diri manusia untuk berpegangan pada nilai humanisme. Artinya hidup manusia tidak mungkin bisa lepas dari hubungan relasi antara dirinya dengan orang lain. Di sini jelas bagi kita bahwa gagasan kedua filsuf ini hendak mengangkat nilai hidup manusia sebagai mahluk sosial dan perilaku sosial. Dengan kata lain semua orang pasti membutuhkan kehadiran orang lain bagi dirinya, entah orang lain itu sebagai orang dekat maupun orang yang tidak dikenal sekalipun.

Confusius dan Levinas tampaknya menekankan makna tanggung jawab sebagai bagian dari hidup manusia yang muncul dari dalam dirinya. Kedua filsuf ini mengakui bahwa setiap orang memiliki dorongan untuk melakukan segala sesuatu sesuai pemahaman masing-masing individu dalam melihat realitas. Akan tetapi, harus kita sadari bahwa tanggung jawab itu memiliki konsep pemahaman yang berbeda-beda. Perbedaan ini bisa saja disebabkan oleh karena faktor budaya dan cara berpikir manusia dalam menanggapi realitas. Tampaknya Levinas yang mewakili filsafat Barat lebih menekankan konsep tanggung jawab manusia sebagai bagian dari proses akal budi untuk mengejar kebaikan bagi ‘aku’ dan ‘orang lain’. Sedangkan Confusius menitik beratkan konsep tanggung jawab manusia dari nilai ‘rasa’ untuk menciptakan keselarasan atau keharmonisan bersama.

Konsep tanggung jawab dari pemikiran Confusius dan Levinas tidak bisa dipahami sebagai suatu teori belaka, akan tetapi tanggung jawab itu harus dipraktekkan dan menjadi bagian dari hidup manusia. Tanggung jawab yang sudah dilakukan oleh manusia akan dapat menyingkapkan perkembangan jati diri manusia itu sendiri. Banyak kreativitas dan kebaikan hati yang dapat diekspresikan oleh manusia melalui tindakan hidupnya sehari-hari terbentuk karena adanya tanggung jawab.





DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. Fenomenologi Eksistensial. Jakarta: Gramedia, 1987.

Enrique, Dussel. Sensibility and Otherness in Emmanuel Levinas. Philosophy Today, 1999.

Lanur, Alex. Sekitar Manusia (ed. Puspowardojo), Jakarta: Gramedia, 1985.

Levinas, Emmanuel, Basic Philosophical Writings, Adriaan T.Peperzak, Simon Critchley, (eds),

Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1996

Levinas, Emmanuel. Totality and Infinity, An Essay On Exteriority (transl. Alphonso Lingis).

Pittsburgh, Pa: Duquesne University Press, 1969.

-----------, The Levinas Reader (Ed. by Sean Hand). Oxford: Blackwell, 1994.

Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, Su Si (Kitab Yang Empat) Kitab Suci Agama

Khonghucu (Matakin), 1994,

Peperzak, Adriaan. Emmanuel Levinas: Jewish Experience and Philosophy. Philosophy Today,

1983.

Simpkins, C. Alexander dan Annellen , Simple Confusianism, Tuntunan Hidup Luhur, Jakarta:

Bhuana Ilmu Populer, 2004

Suseno, Frans Magnis. 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Tanggok, M. Ikhsan, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, Jakarta: Pelita

Kebajikan, 2005, hlm. 62-66.

Takwin, Bagus, Filsafat Timur, Sebuah Pengantar Pemikiran-Pemikiran Timur, Yogyakarta:

Jalasutra, 2005,

Wisok, J.P. Majalah Melintas no.40/ April 1997.

Wiyana, Dwi. “Jangan Remehkan Kedinginan” dalam Majalah Tempo, 18 Maret 2007.



[1] Confusius adalah seorang pemikir besar, negarawan dan pendidik yang hidup di negara bagian Lu (sekarang ini Qufu di Provinsi Shantung). Nama Confusius ini merupakan nama latin yang diberikan oleh bangsa Eropa. Ia lahir tahun 551 SM dan meninggal tahun 479 SM. Sesungguhnya nama marganya ialah Kong dan nama panggilannya Qui. Ayahnya adalah pejabat pemerintahan Negara Bagian Lu. Ayahnya meninggal ketika ia berusia tiga tahun, sehingga membuat masa kecilnya miskin. Setelah dewasa, Confusius berhasil memecahkan monopoli para bangsawan atas pendidikan dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan swasta yang menerima murid dari bidang kehidupan. Pada masa Confusius hidup, negerinya sedang dilanda kekacauan dan terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah, pemberontakan dan kriminalitas. Kondisi sosial Cina pada waktu itu menampilkan wajah kebobrokkan moral dan anarkhi intelektual. Menanggapi kondisi zaman seperti itu, maka pemikiran Confusius lebih terfokus pada upaya untuk memecahkan masalah sosial. Salah satu gagasan yang sangat penting berkaitan dengan perbaikan moralitas bangsanya adalah konsep ‘Cheng Ming’ atau ‘Rectification The Names’ (Meluruskan nama/status/sebutan). Bdk. Bagus Takwin, Filsafat Timur, Sebuah Pengantar Pemikiran-Pemikiran Timur, Yogyakarta: Jalasutra, 2005, hlm.9-14.

[2] Ibid., hlm. 85.

[3] M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005, hlm. 62-64.

[4] Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, Su Si (Kitab Yang Empat) Kitab Suci Agama Khonghucu (Matakin), 1994, hlm. 119-1290.

[5] Ibid., hlm 228-229.

[6] Ibid., hlm.97.

[7] Emmanuel Levinas adalah seorang filosof Francis keturunan Yahudi. Dia lahir di Kovno (Kaunas), Lithuania, pada tanggal 12 Januari 1906. Keluarganya merupakan anggota komunitas Yahudi di Kovno. Pada masa kanak-kanaknya, Levinas belajar dan membaca kitab suci Ibrani, dan pada masa mudanya, Levinas juga banyak membaca karya tulis terkenal Rusia seperti; Pushkin, Gogol Dostoyevsky dan Tolstoy, serta William Shakespeare. Mereka adalah tokoh-tokoh penting yang turut mempengaruhi pemikirannya. Pada tahun 1916, selama masa perang dunia I, keluarganya pindah ke Kharkov di Ukrainia yakni tempat Emmanuel Levinas menduduki sekolah SMU di Rusia dan mengalami pergolakan revolusi mulai dari Februari hingga Oktober 1917. Tahun 1923, Levinas menyelesaikan studi bahasa Latin dan filsafat di Strasbourg. Setelah meraih gelar lisensiat dalam filsafat, ia mulai mempelajari pemikiran Husserl yakni Logical Investigations. Pada tahun 1930 Levinas resmi menjadi warga negara Francis, bekerja sebagai petugas militer di Paris dan sekaligus menjadi pengajar di Alliance Israelite Universelle. Ia pernah masuk menjadi anggota militer Francis dan bertugas sebagai penterjemah bahasa Rusia dan Jerman. Pada tahun 1940-1945 Levinas menjadi tawanan perang di penjara militer, namun tidak dikirim ke kamp pembantaian, oleh sebab dia dianggap seorang petugas militer Francis sehingga keyahudiannya tidak diketahui. Akan tetapi semua keluarganya di Lithuania dibunuh oleh tentara Nazi, sehingga ia mendominasi pemikirannya sebagai kenangan akan peristiwa holocaust. Ketika Levinas berada di dalam penjara militer, dia menulis sebuah buku yang berjudul De l’existence a l’existant (Existence and Existents) dan berhasil diterbitkan dua tahun sesudah perang (1974). Pada tahun yang sama, Levinas menjadi direktur “Ecole Normale Israelite Orientale” di Paris. Sebelum tahun 1961, Levinas sudah dikenal sebagai ahli fenomenologi Husserlian dan Hideggerian, serta menjadi dosen filsafat di universitas Poitiers. Tahun 1967, dia ditempatkan di Universitas Paris-Nanterre. Levinas wafat pada tanggal 25 desember 1995.Bdk. Emmanuel Levinas, Basic Philosophical Writings, (ed. Adriaan T.Peperzak, Simon Critchley), Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1996, hlm.7-8.

[8] Bdk. A. Lanur, “Hubungan antarpribadi menurut Levinas” dalam Sekitar Manusia (ed. Puspowardojo), Jakarta: Gramedia, 1985, hlm.61.

[9] Bdk. Ibid.

[10] Tentang wajah, menurut Levinas: “pertama-tama, terdapat kelurusan hati dari Wajah, keterbukaan lurusnya, tanpa pembelaan. Kulit Wajah adalah kulit yang tinggal paling telanjang dan paling ditelanjangi. Paling telanjang, biarpun suatu ketelanjangan yang sopan. Juga yang paling ditelanjangi: dalam Wajah terdapat suatu kemiskinan hakiki; buktinya bahwa orang berusaha untuk menyembunyikan kemiskinan itu dengan berlagak, dengan memberi kesan lebih daripada kenyataan. Wajah itu terbuka, terancam, bahkan mengundang kita untuk melakukan tindakan kekerasan. Serentak juga adalah wajah yang melarang kita untuk membunuh”. Kutipan ini merupakan terjemahan K. Bertens atas apa yang disampaikan Levinas dalam Ethics and Infinity, hlm. 86.

[11] Sensilibitas adalah petunjuk bagi “saya” yang tak terefleksikan, mengatasi instink, dan di bawah akal budi. Bdk. E. Levinas, Totality and Infinity, An Essay on Exteriority (terj. Alphonso Lingis), Pittsburgh: Duquene University Press, 1969, hlm.38.

[12] Bdk. S.Hand, The Levinas Reader, Oxford: Blackwell Publisher, 1994, hlm.246.

[13] Bdk. Op.cit., hlm.78.

[14] J.P.Wisok, “Dimensi Etis Penampilan Wajah menurut Levinas”, dalam Majalah Melintas no. 40/ April 1997, hlm.28.

[15] Subsitusi merupakan arti utama dari tanggung jawab. Dan subsitusi memiliki dua aspek utama, yaitu: pasivitas dan ketidak-sederajatan. Bdk. Anton Bakker, Antropologi Metafisika, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm.80.

[16] Hubungan asimetris ini adalah suatu gerakan tanpa balik. Bdk. E. Levinas, Totality and Infinity, hlm.215.

[17] Bdk. Ibid

[18] Bdk. C. Alexander Simpkins, dan Annellen Simpkins, Simple Confusianism, Tuntunan Hidup Luhur, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2004, hlm.97.

[19] Bdk. M. Ikhsan Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia, hlm.11.

Tidak ada komentar: