20 November 2008

Moralitas Perkawinan Kristiani


KESETIAAN SUAMI ISTRI KRISTIANI DALAM DUNIA MODERN


I. PENDAHULUAN

Setiap pasangan suami istri (pasutri) tentu memiliki cita-cita untuk membangun keluarga yang ideal dan bahagia, baik secara lahir maupun batin. Meskipun begitu, banyak pasutri berpendapat bahwa membentuk keluarga ideal yang membahagiakan tidaklah semudah melangkahkan kaki. Gereja Katolik sendiri mengakui dan sangat prihatin dengan meningkatnya angka perceraian dan pernikahan kedua, perkawinan melalui sipil, perkawinan sakramental tanpa iman dan penolakan moral seksual Kristiani.

Gereja melihat bahwa keluarga zaman sekarang tampaknya sudah terancam oleh perubahan-perubahan tata nilai dan pola hidup dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Tuntutan ekonomi dan irama pekerjaan yang menekankan efisiensi dan efektivitas mengakibatkan orang harus bekerja bagaikan mesin. Prestasi kerja di luar rumah menjadi prioritas tertinggi, sehingga nilai kebersamaan dalam keluarga dan komunikasi mesra antar anggota keluarga mulai dilupakan dan kurang memperoleh perhatian. Pendek kata, nilai keutamaan terutama kesetiaan dalam hidup perkawinan dan keluarga, tanpa disadari semakin lama semakin memudar dan menghilang.

Pada zaman modern ini nilai kesetiaan dalam keluarga kiranya telah mendapat tantangan, tersaing oleh keutamaan-keutamaan modern yang trendy seperti efisiensi, hedonisme, budaya instant, hidup gengsi, dan sebagainya. Nilai kesetiaan tidak lagi menjadi tema penting dalam pembicaraan sehari-hari para pasutri. Kalau begitu, di manakah kunci untuk menciptakan keluarga yang ideal itu? Bagaimanakah Gereja harus bersikap dan menghadapi hilangnya nilai kesetiaan pada pasutri Kristiani dalam dunia modern ini?


II. PENGERTIAN KESETIAAN

2.1. Arti Kesetiaan

Kesetiaan sering diartikan sebagai lawannya penyelewengan. Dalam hidup perkawinan, biasanya yang dimaksud dengan penyelewengan selalu dihubungkan dengan masalah seks dan cinta. Pasangan yang tidak setia berarti pasangan yang sedang mencintai orang lain atau telah berhubungan seks dengan orang lain.

Sebagai suatu nilai keutamaan, kesetiaan mempunyai arti yang lebih luas dan tidak bisa dibatasi hanya pada masalah seks dan cinta saja. Kesetiaan memiliki arti: dapat dipercaya, dapat diandalkan, kokoh dalam janji, keteguhan hati, ketaatan, dan kepatuhan. Kesetiaan adalah kebajikan yang membuat seorang pribadi memegang teguh kata-kata dan janjinya, dan tidak mengecewakan orang lain dalam harapan-harapannya yang sah.[1] Kesetiaan juga mengandung arti sebagai kemampuan seseorang yang unggul dan tetap untuk bersikap baik. Kemampuan yang unggul dan tetap itu hanya dapat berkembang bila ada usaha pribadi, bantuan lingkungan dan rahmat Tuhan.[2]

2.2. Tantangan Hidup Setia dalam Dunia Modern

Tantangan hidup setia dalam perkawinan pada era globalisasi ini rupanya semakin kompleks. Keadaan global maupun lokal sekarang ini telah menampakkan sisi terang dan sisi gelap kehidupan pasangan suami istri. Hal ini dapat kita saksikan lewat pengalaman hidup di seputar lingkungan kita. Lewat media massa, kita bisa menyaksikan adanya kebangkitan dan kejatuhan hidup perkawinan. Di satu pihak, kita bisa melihat bahwa berkat kehidupan ekonomi yang lebih baik, banyak pasangan suami istri telah mampu mewujudkan kesejahteraan keluarga dan menjamin pendidikan anak-anaknya. Keluarga dengan ekonomi mapan sudah tentu dapat mengikuti pelbagai macam kegiatan yang dapat merealisirkan kemesraan relasi cinta mereka satu sama lain. Mereka juga mampu menciptakan variasi-variasi hidup yang dapat menopang dan memperkaya cinta mereka.

Di lain pihak, zaman globalisasi yang diwarnai dengan industrialisasi dan urbanisasi ini, justru menuntut banyak pasutri untuk hidup dalam kesibukan mengejar kebutuhan. Arus modernitas yang mereka hadapi terus menerus menawarkan paham baru, seperti individualisme, materialisme, kebebasan total, konsumerisme, hedonisme, dan budaya instant. Tanpa disadari, semua paham itu justru dapat memacetkan komunikasi antar pasutri dalam menampilkan identitas dirinya sebagai pasangan hidup. Pola hidup yang bebas dari pasutri yang senang mengejar karier dan gengsi mau tidak mau membuka peluang terjadinya perselingkuhan, penyelewengan, bahkan perceraian. Dalam situasi semacam ini kesetiaan keluarga pun sulit dipertahankan karena masing-masing sibuk mencari kebutuhan. Oleh karena itu, tidak heran bila dalam dunia modern ini istilah PIL, WIL bahkan perceraian adalah fenomena yang biasa.


III. FAKTOR PENYEBAB RUNTUHNYA NILAI KESETIAAN PASUTRI

Perubahan-perubahan sosial dan kemajuan teknologi yang pesat ternyata dapat membuahkan akibat sampingan (dampak) pada menurunnya nilai kesetiaan sebuah perkawinan. Lalu di manakah letak kesalahannya? Orang (Indonesia) sering meletakkan kesalahan pada pengaruh masuknya budaya Barat. Tetapi sesungguhnya hal ini tidaklah benar. Manusia dari dunia Barat memang hanya memperhatikan diri sendiri dan mengejar uang serta kenikmatan. Akan tetapi, itu semua didasari juga oleh penghargaan tinggi terhadap ‘pribadi manusia’, hak asasi manusia, perhitungan akal budi yang cermat serta hukum masyarakat mereka yang jelas. Secara sadar masyarakat Barat memang memilih hidup bebas, namun pilihan mereka bukanlah suatu paksaan nafsu. Terbukti bahwa banyak keluarga Barat yang bertekad setia, ternyata bisa hidup setia dan bahkan lebih mesra dan harmonis. Biar bagaimanapun, kita harus menyadari bahwa letak kesalahannya ialah terletak pada pola pikir yang masih tradisional, yang masih mementingkan hubungan perorangan, hubungan rasa dan kurang memahami hukum masyarakat secara nalar. Di bawah ini kami akan menampilkan beberapa bentuk sikap hidup yang kami rasa dapat menjadi penyebab runtuhnya nilai kesetiaan, yaitu:

3.1. Sikap Hidup Hedonisme

Sikap hedonisme atau sikap yang mengutamakan kenikmatan, biasanya akan menjadi pemicu bagi seseorang untuk tidak berkomitmen dalam kesetiaan. Ciri khas orang yang demikian biasanya sukar berkorban dan sukar untuk menahan diri untuk mengejar kenikmatan. Ia cepat sekali merasa terpacu untuk menikmati sesuatu. Ia mudah menjerumuskan diri dalam pola hidup yang tidak teratur dan berlebihan. Jajan seksual bagi orang hedonisme adalah sama dengan ke restoran. Ia melihat wanita atau pria sebagai obyek seksual untuk mencapai kenikmatan dan kepuasan. Moralnya dalam hal ini jelas tidak berkembang. Bila tidak diimbangi dengan nilai-nilai moral yang baik, maka gaya hidup orang hedonisme ini akan mengarah pada perilaku hidup berselingkuh, perzinahan dan bahkan poligami.

3.2. Perzinahan

Perzinahan adalah hubungan seksual antara dua orang yang berlainan jenis, paling kurang salah satu dari mereka telah menikah. Perilaku zinah ini jelas menunjukkan sikap ketidaksetiaan dalam hidup perkawinan. Lebih kerap alasan dari ketidaksetiaan ini selalu diawali dengan sikap tidak pedulinya seorang pasutri yang menganggap pasangannya sebagai obyek seksual dan emosional. Perilaku perzinahan biasanya membawa kerugian bagi cinta, harmoni dan stabilitas dalam keluarga dari pasangan yang menikah. Cinta dari pasangan yang melakukan perzinahan lazimnya akan terbagi. Perzinahan juga telah melanggar sumpah setia perkawinan dan ikrar pada saat menerima sakramen perkawinan. Resiko terbesar dari perzinahan adalah bahwa anak-anak yang dihadiahkan bagi kehidupan tidak terawat dengan baik. Perzinahan dapat dihindari apabila suami dan istri mau menghayati sikap saling mencintai dan menghargai satu sama lain.

3.3. Poligami

Poligami adalah bentuk perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria yang memiliki lebih dari satu istri. Bagi Gereja Katolik poligami merupakan pelanggaran langsung prinsip monogami.[3] Pada budaya tertentu dan juga ajaran agama Islam, poligami tidak dilarang. Para pelaku poligami sering kali mengaitkan tindakan itu dengan syarikat Islam. Alasannya mengikuti sunah Rasulullah.[4] Islam juga mengatur agar penyaluran syahwat bermanfaat secara sosial, terutama untuk mengayomi anak yatim dan janda. Ada juga orang berpandangan bahwa poligami lebih bermanfaat dibanding melakukan pelacuran. Biar bagaimanapun, poligami merupakan salah satu masalah seks dan bentuk perilaku ketidaksetiaan.

3.4. Pudarnya Kualitas Komunikasi

Sumber pemicu ketidaksetiaan yang lain ialah pudarnya komunikasi antara pasangan suami istri. Dalam kehidupan perkawinan, komunikasi merupakan suatu ketrampilan (skill) yang diperlukan untuk membangun dan memelihara hubungan yang sehat. Melalui komunikasi, suami istri bisa saling mengungkapkan atau mewujudkan cintanya, baik melalui kata-kata maupun melalui tindakan (verbal dan non-verbal). Dengan berkomunikasi maka pasangan suami istri dapat saling mengekspresikan realita yang ada dalam dirinya masing-masing, sehingga mereka bisa saling mengetahui, mengerti, memahami, dan mencintai satu sama lain.[5] Tentu saja hal tersebut dapat terjadi bila masing-masing pribadi mau saling terbuka dan jujur.

3.5. Sikap Puber Kedua yang Suka Berpetualang Cinta[6]

Secara psikologis, istilah puber kedua hendak menunjukkan perilaku seseorang yang memasuki usia lanjut, yaitu usia berkisar 50-65 tahun. Pada zaman modern orang seperti ini masih dapat kita temui di tempat tertentu (di mall-mall, club malam, diskotik). Biasanya orang yang mengalami situasi ini mungkin telah ditinggalkan oleh anak-anaknya, teman karibnya yang sudah meninggal, dan mungkin juga pasangannya (karena perceraian). Orang seperti ini sudah menghadapi pensiun. Ia cenderung mulai menjadi genit atau “kenes”, suka bergaya dan memakai pakaian seperti anak muda. Tidak menutup kemungkinan, orang seperti ini suka berpetualangan dalam bidang seksual, entah sampai menjadi “oom senang” atau “tante girang”. Padahal setiap pertualangan yang mereka lakukan sesungguhnya dapat membawa dirinya lebih dalam pada kekecewaan.


IV. PERANAN GEREJA MEMBINA NILAI KESETIAAN PASUTRI

4.1. Nilai Kesetiaan Pasangan Suami Istri Kristiani

Bagi Gereja, pengungkapan nilai kesetiaan suami istri kristiani sangat nyata dalam dua sifat hakiki perkawinan,[7] yakni perkawinan yang bersifat monogami (unitas) dan tak terceraiberaikan (indissolubile). Secara khusus bila sepasang suami istri dikatakan setia, maka dengan sendirinya mereka telah mewajibkan diri untuk memenuhi janji yang telah diucapkannya baik secara gamblang ataupun tersirat.[8] Lalu apa yang dimaksud dengan kesetiaan dalam monogami dan tak terceraiberaikan itu?

Pengertian kesetiaan sehubungan dengan monogami sering dirumuskan secara negatif, yakni dengan istilah ‘tidak berzinah’. Perkawinan bersifat monogami berarti perkawinan itu terjadi antara satu pria dan satu wanita. Satu pria hanya boleh punya satu istri dan sebaliknya satu wanita hanya boleh memiliki satu suami. Sifat monogami ini didasarkan pada keutuhan dan ke-tak-terbagi-an cinta Kristus kepada Gereja. Jika seorang suami mempunyai beberapa istri (hidup poligami), maka cintanya tidak bisa diberikan secara total kepada istri-istrinya.

Sedangkan, pengertian kesetiaan sehubungan dengan sifat tak terceraiberaikannya perkawinan juga sering dirumuskan secara negatif, yakni dengan istilah suami istri yang ‘tak boleh cerai’, atau bahkan ‘tak bisa cerai’. Artinya, kalau perkawinan sudah disahkan dan suami istri sudah bersetubuh (Ratum et Consumatum), maka suami istri itu tidak boleh cerai dan tidak boleh kawin lagi dengan pria atau wanita lain. Dengan demikian dari suami istri dituntut kesetiaan pada ikatan perkawinan seumur hidup.

Selain kedua sifat perkawinan di atas, Gereja juga mengingatkan pasutri kristiani untuk tetap setia, karena telah berpegang teguh pada keputusan irreversibel. Keputusan irreversibel merupakan janji keputusan untuk setia seumur hidup atau keputusan yang tak dapat ditarik lagi. Adapun prinsip Gereja untuk menekankan keputusan ini adalah pertama, Gereja memiliki prinsip bahwa keputusan irreversibel itu mungkin, meskipun sukar. Kedua, Gereja percaya bahwa kesetiaan dapat terus berlangsung, karena adanya kekuatan tuntutan Kristus dan ajaran Gereja-Nya. Ketiga, Gereja menyakini bahwa kesetiaan itu dapat terus bertumbuh asalkan didasari oleh iman kristiani, khususnya melalui sakramentalitas perkawinan yang mencerminkan dan mementaskan kesetiaan perjanjian Allah. Di sini jelas sekali bahwa untuk tetap setia, maka peranan rahmat Allah dan komunitas Gereja sangat dibutuhkan.

4.2. Pandangan Gereja pada Nilai Kesetiaan Pasutri

4.2.1. Nilai Kesetiaan menurut Kitab Suci

Nilai kesetiaan sebagai bagian dari keutuhan dan kesatuan keluarga yang tak terpisahkan telah ditandaskan oleh Yesus sendiri, “Apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:6; Mrk 10:9). Artinya bahwa suami istri harus mempertahankan kesatuan keluarganya dengan selalu ingat akan janji perkawinannya, yaitu untuk saling mencintai, menghormati sepanjang hidup dan saling setia satu sama lain dalam suka maupun duka, dalam sakit maupun sehat. ‘Setia’ berarti ‘tahan uji’ dengan segala situasi suka maupun duka, terutama dalam situasi malang, menderita, dan pahitnya kehidupan. Kesetiaan yang sesungguhnya memang baru tampak setelah pasutri menghadapi ujian dan salib kehidupan.

Dua orang yang sudah dibaptis bila disatukan dan diberkati di dalam Gereja membentuk sakramen perkawinan. Oleh karena itu, persatuan dan kesetiaan hidup dalam bahtera perkawinan ini diikat dengan ikatan yang disebut cinta kasih sakramental. Artinya, Allah telah menghendaki agar kehidupan suami istri mencerminkan dan mewartakan cinta kasih Allah sendiri. Mengenai cinta kasih sakramental ini Rasul Paulus membuat suatu paralel yang indah dengan mengatakan, “Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat... Demikian juga suami harus mengasihi istrinya seperti tubuhnya sendiri” (bdk. Ef 5:25,28). Demikianlah, surat Paulus ini dapat dijadikan dasar bagi pasangan suami istri kristiani untuk tetap mempertahankan nilai kesetiaan dalam menjalankan hidup berkeluarga.

4.2.2. Nilai Kesetiaan menurut Ajaran Gereja

Nilai kesetiaan dalam ajaran Gereja Katolik juga dikemukakan dalam beberapa pernyataan resmi yang dikeluarkan Tahta Suci. Pertama, Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa monogomi merupakan satu-satunya bentuk perkawinan yang halal bagi orang katolik. Hal ini ditandaskan dalam GS art.49:“Cinta kasih suami istri yang sejati akan dijunjung lebih tinggi, pun juga akan terbentuk pandangan umum yang sehat tentangnya, bila suami istri kristiani sungguh menonjol karena kesaksian kesetiaan dan keserasian dalam cinta itu, dan karena penuhnya perhatian mereka dalam mendidik anak-anak” [9] Kedua, tentang pentingnya nilai kesetiaan bagi pasutri Kristiani, Paus Yohanes Paulus II juga mengingatkan para pasutri untuk setia pada janji perkawinan yang telah mereka ucapkan:“Persekutuan pertama ialah yang terbentuk dan berkembang antara suami isteri: berdasarkan perjanjian kasih perkawinannya suami istri ‘bukanlah dua, melainkan satu daging’ . Mereka dipanggil untuk tetap tumbuh dalam persekutuan mereka melalui kesetiaan dari hari ke hari terhadap janji pernikahan mereka untuk saling menyerahkan diri seutuhnya” (FC art.19)[10].


V. REKSA PASTORAL

Pada zaman modern ini, Gereja merasa perlu mendampingi pasangan suami istri dan seluruh tahap perkembangannya. Mengapa? Karena zaman yang ditandai dengan banyak perubahan di segala bidang kehidupan, ternyata dapat membawa pengaruh positif maupun negatif pada kehidupan perkawinan. Oleh kerena itu, (kaum muda) calon pasutri yang telah berencana memilih hidup panggilan berkeluarga dan para pasutri yang telah menjalankan hidup berkeluarga perlu diberi pendampingan, yaitu dengan usaha:

5.1. Pendidikan Nilai Kesetiaan Sejak Kanak-Kanak.

Pembinaan dan pendidikan nilai-nilai keutamaan, seperti nilai kehormatan, kebenaran dan kesetiaan sesungguhnya sangat tepat jika dimulai sejak masa kanak-kanak. Pada masa ini, orang tua (pasutri) perlu menanamkan diri anak-anak mereka nilai-nilai manusiawi dan kristiani, baik dalam hubungan antarpribadi maupun hubungan sosial dengan orang lain. Misalnya saja, orang tua harus menunjukkan sikap kesetiaan kepada anak-anaknya, agar mereka pun dapat memahami arti kesetiaan. Anak-anak yang sejak semula mengalami dan mempunyai gambaran positif mengenai hidup berkeluarga sebagai panggilan hidup dari Allah, maka bila kelak membangun keluarga, mereka pun akan meniru dan melakukan apa yang dahulu mereka lihat dan dicontohkan oleh orang tuanya.

5.2. Pendidikan Nilai Kesetiaan pada Pasutri.

Godaaan dapat mengakibatkan seseorang menempuh jalan pintas melawan keyakinannya sendiri. Oleh karena itu, Gereja perlu menyelenggarakan pendidikan kesetiaan yang benar bagi pasutri, yakni dengan cara membuka ruang konseling keluarga (baik di paroki maupun pastoral keluarga center). Pasutri perlu diberi pengertian yang jelas tentang sejumlah masalah yang mempersulit kesetiaan, misalnya: sikap labilitas, sikap plin plan, kecenderungan menjadi lekas jenuh, dan kesulitan mengatur diri sendiri dalam menjalankan hidup perkawinan.

5.3. Meningkatkan Budaya Berkomunikasi.

Bila salah satu sumber ketegangan dan konflik antara suami istri terletak dalam kurangnya kuantitas dan kualitas komunikasi, atau bahkan tiadanya atau salah komunikasi, maka kiranya pasutri tersebut perlu diarahkan untuk mengembangkan budaya komunikasi. Salah satu contoh usaha ini ialah para pasutri dapat dianjurkan untuk ikut menjadi anggota Marriage Encounter, ikut kegiatan seminar-seminar keluarga, dan pelatihan komunikasi bagi keluarga

5.4. Pendalaman dan Penghayatan Iman

Meskipun selayang pandang rupanya keberhasilan perkawinan tak terlalu ditentukan faktor iman, melainkan lebih oleh faktor sifat-sifat kemanusiaan, misalnya watak suami istri dan situasi serta kondisinya, faktor iman tidak boleh diabaikan.[11] Gereja dalam hal ini perlu meningkatkan kekuatan iman bagi para pasutri kristiani untuk lebih menghayati makna doa dan sakramen perkawinan. Dalam hal ini Gereja perlu meningkatkan program retret keluarga dan retret pasutri, seperti: mengadakan retret tulang rusuk.

5.5. Memberi Pemahaman yang Baru Tentang Kesetiaan

5.5.1. Kesetiaan itu adalah kehadiran.

Selama masa pacaran, setiap pasangan sejoli biasanya ingin selalu hadir dan dekat dengan orang yang dicintainya. Betapapun sibuknya, mereka selalu berusaha untuk memenuhinya. Tanpa disadari, ketika sudah berkeluarga, suami istri juga memiliki kecenderungan untuk mencari waktu agar bisa hadir, mendengarkan suka duka, ingin saling meneguhkan dan menyembuhkan pasangannya. Melihat kenyataan ini, Gereja perlu terus menghimbau para pasutri untuk meluangkan waktunya bagi pasangannya agar selalu bertemu dan berkumpul bersama. Tujuannya ialah agar para pasutri mau saling berbagi rasa, berkomunikasi, dan memupuk cinta yang mendalam.

5.5.2. Kesetiaan itu adalah sikap mau melakukan hal-hal yang sederhana dan terus

menerus.

Gereja juga perlu mendukung para pasutri untuk mengisi perkawinan mereka dengan mengambil sikap hidup yang mampu membangun nilai cinta dan kesetiaan. Sikap ini dapat dilakukan dalam bentuk perbuatan yang sederhana namun dapat memberi kesan yang mendalam bagi pasangannya, seperti: memberi perhatian istimewa, membawakan bunga, memberi kecupan, saling memberi pujian atau saling merangkul mesra yang selalu dilakukan terus menerus.


VI. PENUTUP

Dunia modern dan global telah merambah hampir ke seluruh sendi kehidupan manusia. Perubahan demi perubahan terus terjadi. Dampak negatifnya bagi perkawinan dan kehidupan keluarga kian terasa. Banyak nilai keutamaan untuk menjaga keutuhan perkawinan, yang selama ini dipegang perlahan-lahan telah memudar. Di satu pihak, kita bisa melihat bahwa banyak keluarga dengan sekuat tenaga telah berusaha tetap setia kepada nilai-nilai Kristiani. Namun di lain pihak, banyak keluarga lain yang masih bingung atau tidak percaya akan pentingnya nilai-nilai itu atau – karena situasi tertentu – tidak mampu menghidupi atau menghayatinya.

Gereja menyadari pentingnya keluhuran nilai perkawinan dan hidup berkeluarga. Oleh karena itu, Gereja ingin membantu mereka yang hidup di dalam keluarga, terutama bagi kaum muda yang sedang memulai perjalanan menuju kehidupan perkawinan untuk terus belajar hidup setia. Penekanan Gereja Katolik pada nilai kesetiaan dapat dilihat dari sifat perkawinan kristiani yang monogami dan tak-terceraikan, yang dituntut karena atas dasar kepenuhan cinta dan demi kesejahteraan anak-anak.

Gereja tahu bahwa menurut pertimbangan banyak orang zaman sekarang, sifat perkawinan kristiani itu terlalu sulit untuk dijalani dengan sungguh-sungguh. Banyak orang zaman modern telah dipengaruhi oleh budaya yang menolak indissolubilitas perkawinan. Biar bagaimanapun Gereja harus tetap berusaha menyadarkan para pasutri untuk menghayati cinta perkawinan mereka sebagai cinta permanen dan cinta yang utuh untuk seumur hidup. Selain itu Gereja juga berkewajiban untuk mengingatkan mereka bahwa perkawinan kristiani adalah buah dan tanda cinta kesetiaan Allah kepada mereka, sebagaimana menjadi buah dan tanda kesetiaan Kristus kepada Gereja.


DAFTAR PUSTAKA

Aristoteles. Sebuah “Kitab Suci” Etika, Nicomachean Ethics (terj. Embun Kenyowati). Jakarta: Teraju, 2004.

Go, Piet dan Maramis, W.F. Kesetiaan Suami-Istri dan Soal Penyelewengan. Malang: Dioma, 1990 .

Hadiwardoyo, Purwa, Surat untuk Suami Istri Kristen Jilid 2, Yogyakarta: Kanisius, 1995

Handoko, Petrus Maria, Sakramen Perkawinan (promanuscripto), Malang: STFT Widya Sasana, 2004,

Hardiwiratno, J. Menuju Keluarga Bertanggung Jawab. Jakarta: Obor, 1994.

Konsili Vatikan II, “Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini” (GS) dalam Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R.Hardawiryana, SJ. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, Obor, 1993.

Lane, Cristy & Stevens, Laura Ann. Mengatasi Masalah Perkawinan. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Paulus II, Yohanes, Familiaris Consortio (Keluarga), terj. R.Hadawiryana, SJ., Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993.

Peschke, Karl-Heinz, Etika Kristiani Jilid II, Kewajiban Moral Dalam Hidup Pribadi. Maumere: Ledalero, 2003.

Wiyana, Dwi, “Setelah Kejutan Poligami Aa Gym” dalam Majalah Tempo, Edisi 11, tanggal 17 Desember 2006, hlm.108-110.



[1] Bdk. Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, Maumere: Ledalero, 2003, hlm.215.

[2] Bdk. Purwa Hadiwardoyo, Surat untuk Suami Istri Kristen Jilid 2, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm.12.

[3] Paus Yohanes Paulus II menandaskan: “Poligami sama sekali bertentangan dengan persekutuan yang demikian itu: poligami direk mengingkari rencana Allah seperti yang diwahyukan pada awalnya; karena poligami melawan martabat yang sama pria dan wanita, yang dalam perkawinan saling menyerahkan diri dengan cintakasih yang total dan karenanya unik dan eksklusif. Bdk. Piet Go dan W.F. Maramis, Kesetiaan Suami Istri dan Soal Penyelewengan, Malang: Dioma,1990, hlm.10.

[4] Bdk. Dwi Wiyana, “Setelah Kejutan Poligami Aa Gym” dalam Majalah Tempo, Edisi 11, 17 Desember 2006, hlm.110.

[5] Komunikasi adalah suatu tindakan berbagi diri (sharring) antara dua orang atau lebih. Lazimnya tindakan ini bukan hanya membagi ide-ide, pikiran, pengetahuan, tetapi juga dan lebih-lebih membagikan perasaan: takut, kecewa, jengkel, sedih, senang, was-was, dan sebagainya.

[6] Piet Go dan W.F. Maramis, op.cit., hlm.35.

[7] Pada hakekatnya perkawinan adalah sebuah perjanjian (convenant) antara seorang pria dan seorang wanita atas dasar suatu keputusan pribadi untuk saling menyerahkan diri secara total dan mengikat hubungan mantap sebagai suami dan istri dalam suatu kesatuan sosial yang erat dan stabil. Bdk. Petrus Maria Handoko, Sakramen Perkawinan (promanuscripto), Malang: STFT Widya Sasana, 2004, hlm.10.

[8] Bdk. Karl-Heinz Peschke, op.cit., hlm.215.

[9] Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes” tentang CintaKasih Suami Istri, hlm.334.

[10] Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, hlm 35.

[11] Bdk. Piet Go dan W.F. Maramis, op.cit., hlm.14.

Tidak ada komentar: