Teologi Kontekstual Sebagai Imperatif Teologis
Stephen B. Bevans dalam bukunya Teologi Kontekstual telah memperkenalkan suatu gagasan baru mengenai model teologi yang tepat untuk zaman sekarang. Pada bab I (pertama) ini Bevans telah memaparkan refleksinya kepada kita tentang bagaimana kita harus berteologi dari sudut pandang yang baru. Tampaknya Bevans ingin mengajak kita untuk memahami iman Kristen yang dipandang dari segi suatu konteks tertentu. Bagi Bevans berteologi dari konteks bukanlah hal yang mustahil dan mengada-ada, terbukti bahwa pada zaman sekarang istilah kontekstualisasi semakin populer. Hal itu dapat kita lihat dengan munculnya berbagai macam teologi, seperti: teologi feminis, teologi hitam, teologi pembebasan, teologi Filipina, teologi Asia-Amerika, teologi Afrika, dll.
Berteologi kontekstual adalah tugas dan tanggungjawab semua orang beriman Kristiani. Semua orang Kristiani ditantang Bevans untuk berani berteologi dari konteks. Dalam kontekstualisasi, orang akan berhadapan dengan konteks kebudayaan dan agama yang tradisional di satu pihak, tetapi di pihak lain bergumul juga dengan konteks modernisasi yang menyebabkan perubahan nilai, khususnya segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat manusia. Sudah tentu, teologi kontekstual bukan lagi menjadi suatu pilihan yang bersifat fakultatif, melainkan suatu imperatif teologi.
Bevans juga telah menunjukkan kepada kita tentang segi ketidaksinambungan dan kesinambungan dari sebuah pendekatan kontekstual terhadap teologi dalam perbandingannya dengan teologi tradisional atau klasik. Dalam hal ini, Bevans telah menunjukkan perbedaan teologi klasik dengan teologi kontekstual dari sudut cara berteologi. Pada teologi klasik, teologi dimengerti sebagai sebuah refleksi dalam iman yang menyangkut dua sumber berteologi (loci theologici), yakni Kitab Suci dan tradisi. Sedangkan pada teologi kontekstual, kita tidak saja harus memakai dua sumber teologi, tetapi juga kita perlu mengakui keabsahan locus theologicus yang lain, seperti pengalaman manusia jaman sekarang. Dengan kata lain, teologi kontekstual telah memakai tiga sumber untuk berteologi, yakni Kitab Suci, tradisi dan konteks hidup manusia jaman sekarang. Dengan demikian Teologi Kontekstual memahami teologi sebagai sesuatu yang subjektif. Sedangkan Teologi klasik lebih memahami teologi sebagai sesuatu yang bersifat objektif.
Bagi Bevans, manusia zaman sekarang harus menjadi subjek berteologi sesuai dengan pengalaman hidupnya. Dalam hal ini Bevans sependapat dengan Chales Kraft ketika melihat kepribadian manusia dan masyarakat manusia yang selalu terikat oleh kondisi kultural, subkultural serta kondisi psikologisnya untuk menginderai dan menafsirkan apa yang mereka lihat tentang realitas. Selain itu Bevans juga mengambil pandangan beberapa teolog seperti Anthony Gittins, Ian Barbour, Henri Bouillard, untuk mendukung argumennya di dalam mencetuskan teologi secara kontekstual.
Hal menarik dalam teologi Bevans di sini adalah bahwa berteologi kontekstual perlu menampilkan pemahaman mengenai iman secara baru, sekaligus di lain sisi kita juga tidak boleh meninggalkan nilai tradisional yang sudah mengakar. Mengapa? Karena memahami teologi sebagai sesuatu yang kontekstual berarti menegaskan sesuatu sebagai yang baru dan sekaligus tradisional. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa adakalanya teologi kontekstual tidak dapat mencapai sasaran oleh karena beberapa hal: Pertama, adanya pengalaman kehidupan pribadi seseorang atau kelompok tertentu yang sulit mengalami Allah yang penuh kasih di dalam kehidupan mereka. Kedua, adanya pengalaman personal atau komunal dalam budaya tertentu yang merasa adat istiadat, simbol dan mitos dari sistem religius mereka yang tidak dihargai oleh kedatangan kebudayaan baru yang berciri “sekular” atau “religius”. Ketiga, munculnya tuntutan adanya pengakuan dalam konteks “lokasi sosial” seseorang atau satu komunitas.
Bevans juga membuat refleksi atas beberapa faktor, baik eksternal dan internal, yang membuat teologi kontekstual dapat terwujud pada zaman sekarang. Adapun faktor eksternal itu, antara lain: Pertama, adanya suatu ketidakpuasan umum, baik di Dunia Pertama dan Dunia Ketiga, menyangkut pendekatan-pendekatan klasik terhadap teologi. Kedua, teologi Barat klasik, dengan penekanannya pada keselamatan dan moralitas individual tanpa disadari telah mengacaukan kebudayaan yang hanya mengakui individu dalam konteks kelompok. Ketiga, adanya pertumbuhan jati diri Gereja-Gereja lokal telah memberi sumbangsih kepada keniscayaaan pengembangan teologi-teologi yang sungguh-sungguh bersifat kontekstual. Keempat, adanya konflik pemahaman tentang kebudayaan yang disediakan oleh ilmu-ilmu sosial kontemporer.
Sedangkan faktor Internal, meliputi: Pertama, adanya keyakinan bahwa Allah juga akan hadir di tengah-tengah kehidupan manusia zaman sekarang dalam wujud Yesus yang kontekstual. Kedua, Bervans sependapat dengan pemikiran Edward Schillebeeckx mengenai perjumpaan manusia dengan Allah di dalam diri Yesus yang terus berlangsung di tengah dunia melalui hal-hal konkret, seperti sakramen-sakramen. Ketiga, adanya pemikiran teologis yang bermuara pada KV II, yang mulai mengubah penekanannya tentang pewahyuan Allah kepada manusia dengan menggunakan sarana tindakan konkret dan simbol-simbol dalam sejarah manusia. Keempat, adanya keinginan agama Kristen yang menuntut suatu pendekatan kontekstual dalam ihwal berteologi yang berciri khas katolisitas. Kelima, adanya upaya agama Kristen untuk melihat kontekstualisasi yang dapat ditemukan dalam doktrin Trinitas.
Persoalan-Persoalan dalam Teologi Kontekstual
Dalam bab II buku Teologi Kontekstual, Steven B Bevans hendak mengajak kita untuk merefleksikan beberapa persoalan-persoalan dalam teologi kontekstual. Ia menyadari bahwa berteologi kontekstual tidaklah mudah. Teologi kontekstual merupakan cara berteologi secara baru, oleh karena itu seorang teolog sudah tentu akan menghadapi banyak persoalan-persoalan. Secara umum persoalan yang ada di dalam teologi kontekstual dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yakni persoalan dalam metode berteologi, persoalan dalam kiblat dasar berteologi, persoalan dalam kriteria untuk ortodoksi dan persoalan-persoalan yang menyangkut jati diri budaya berhadapan dengan teologi yang sudah ada di dalam sebuah kebudayaan dan perubahan sosial.
Menarik sekali bahwa dalam memaparkan persoalan-persoalan teologi kontekstual, tampaknya pengarang secara tidak langsung ingin memberi motivasi kepada umat Kristen Asia untuk melepaskan diri dari cara pandang khas Barat atau “Teologi Barat”. Sekalipun agak sulit, namun pengarang tetap berusaha menyadarkan umat Asia untuk berteologi dengan cara melihat realitas dalam kebudayaan, religiositas rakyat dan perubahan sosial di Asia
Ada beberapa hal yang ingin ditekankan pengarang di sini, yaitu: Pertama, sudah saatnya umat Asia mulai menghidupi teologi sendiri berdasarkan metode merefleksikan langsung suatu peristiwa dunia dan perubahan kebudayaan pribadi. Meskipun begitu, pangarang juga menekankan agar umat Asia yang akan berteologi secara kontekstual sudah tentu tidak boleh meninggalkan ajaran Kitab Suci dan tradisi kristen. Dengan kata lain pengalaman hidup manusia Asia dan tradisi kristen tetap harus dibaca bersama-sama dalam konteks sebagai Gereja universal.
Kedua, teologi kontekstual tidak lagi harus menjadi bidang pergelutan para teolog “luar” atau teolog Barat (Misionaris Eropa) semata-mata. Teologi justru akan sungguh-sungguh “mendarat di tengah hati umat”, apabila teologi itu muncul dari umat setempat atau umat “pribumi” yang selalu bergelut langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari. Harus diakui bahwa tidak sedikit umat pribumi yang ternyata kurang mendapat pendidikan dan pemahaman yang baik atas kebudayaannya. Diharapkan peran seorang teolog “luar” ialah sebagai partner dialog. Tepatnya sebagai pembantu umat dalam hal membahasakan secara lebih jelas apa yang ingin diungkapkan umat ketika mereka akan berteologi. Di samping itu para teolog “luar” juga diharapkan dapat memperdalam gagasan-gagasan umat dan menyiapkan iman umat untuk melihat kekayaan tradisi Gereja. Sudah tentu para teolog profesional harus menjadi “guru teologi” bagi umat setempat. Para teolog luar justru lebih kompeten dan memiliki wawasan yang kritis untuk melihat segi-segi positif dan negatif dari sebuah konteks kebudayaan yang bersangkutan.
Ketiga, umat Kristen Asia sudah saatnya mengarahkan atau mengkiblatkan dasar teologi Asia yang berpusat pada karya ciptaan Allah. Teologi yang terpusat pada ciptaan sudah tentu harus tertuju pada dunia di mana Allah akan mewahyukan diri-Nya. Bagi orang-orang Asia pewahyuan Allah dapat dirasakan di tempat-tempat yang bagi orang Asia menjadi tempat yang sakral dan beberapa situasi magis yang lahir dari kebudayaan mereka.
Keempat, umat Kristiani Asia juga hendak melihat bahaya nyata apabila kontekstualisasi diterapkan secara tidak bijaksana. Di mana agama Kristen tidak dapat dicampuradukan dengan kebudayaan sedemikian rupa, sehingga bukan saling memperkaya melainkan mengkompromikan dan menghianati agama Kristen. Pengarang berpikir bahwa percampuran agama Kristen dan budaya itu pada akhirnya akan beralih menjadi sebuah “teologi kebudayaan” yang mengikuti jejak teologi liberal abad ke 19. Sebagai contoh, pengarang menggunakan pandangan Kardinal Ratzinger yang pernah mengeluarkan peringatan keras menyangkut percampuradukan teologi pembebasan Amerika Latin dengan ideologi Marxis. Menarik sekali bahwa pandangan pengarang tentang agama yang dicampuradukan dengan kebudayaan kerapkali kita temui dalam kehidupan beragama saudara-saudari kita umat muslim Indonesia. Di mana mereka telah serta merta menerapkan budaya berjilbab dan cadar wajah dari budaya Timur Tengah kepada kaum wanita Indonesia. Akibatnya unsur fanatisme untuk mewajibkan budaya berjilbab bagi kaum wanita telah menjadi suatu bagian dari kebudayaan.
Refleksi:
Dewasa ini, istilah kontekstualisasi semakin populer di belahan dunia ketiga, terutama di negara Asia. Dalam kontekstualisasi, orang Kristen Asia dituntut untuk menciptakan teologinya sendiri-sendiri dengan cara menanggapi konteks kebudayaan, religiositas kerakyatan dan perubahan sosial yang terjadi di negaranya. Secara sederhana kontekstualisasi bagi orang Kristen Asia dapat diartikan usaha menemukan harga diri, jati diri sebagai orang Kristen di dalam konteks di mana mereka menjadi “umat pribumi”.
Motivasi pengarang dalam upaya mengajak kita untuk melepaskan diri dari “teologi Barat” dan memulai berteologi secara kontekstual tampaknya bukanlah hal yang mudah. Menurut hemat saya, mentalitas ini tidak menutup kemungkinan perlahan-lahan akan membentuk sikap umat Asia untuk tidak menghargai sejarah Gereja lagi. Padahal bukankah teologi yang selama ini diakui sebagai “teologi Barat” atau khas Roma telah ikut membentuk konsep berpikir teologi dan gereja? Kalo memang demikian maka pemisahan diri dari “Teologi Barat” harus dimulai dari pemisahan semua “pengaruh Barat” yang telah melekat dalam pikiran teologi dan gereja. Pertanyaan adalah “apakah pemisahan ini mungkin dapat terlaksana? Lalu apa dampak positif dan negatifnya bila kita meninggalkan teologi Barat?